Sabtu, 25 Mei 2013

KUJANG: Senjata Khas Urang Sunda


Iip Zulkifli Yahya

"...Ganjaran nu belapati, satria santosa iman, Raden teu burung dileler, jimat kujang nu utama, pikeun neruskeun lampah, pangjurung ngapung ka manggung, pamuka lawang ka Sunan. Cangkingan lalaki langit, wangkingan lalanang jagat, wewesen leber wawanen, saratna sapira kujang nanging jadi lantaran, Sunan Ambu mikayungyun, para jawara ngaraksa. Kujang the dipake ciri, pusaka Tanah Pasundan, ciciren gede wewesen, pantang lumpat ngandar jangjang, ngeok eleh ku bikang, saur galur nu cacatur, kujang dua pangadekna..."

       Kujang adalah sebuah senjata yang unik dari segi bentuk dan kesejarahannya. Hampir setiap orang mengenal nama Kujang, namun belum tentu bisa menjawab secara mendalam, baik itu dari sisi bentuk maupun refleksi keberadaannnya dalam kehidupan para penggunanya di masa lalu. Dari berbagai sumber, al. Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, penulis mencoba mengungkap fungsi, bentuk serta stratifikasi pemakaiannya       dalam masyarakat dimasa lalu.

Tulisan yang dibuat oleh Sdr. Iip Zulkifli Yahya dan telah diterbitkan di Majalah Panggung Edisi Desember 2000 ini sengaja ditampilkan secara berurutan beberapa episode di SundaNet.Com yang intinya diharapkan bisa mengungkap berbagai hal tentang kujang, yang tidak hanya semata-mata, dimasa kini, muncul sebagai cinderamata, namun juga mengungkap nilai filosofi dalam bertindak, seiring dengan kandungan dua pangadegna, yang merefleksikan adanya dua sisi ketajaman kritis dalam kehidupan, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan kolektifnya (Redaksi).

Kujang, secara umum telah diakui sebagai milik asli urang Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata. Lebih dari itu kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dalam kujang? Mengapa ia dikesani sakral dan memiliki daya magis? Mengapa ia yang dipilih sebagai lambang Jabar dan bukan benda yang lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab informasi mengenai kujang sangatlah sedikit, untuk tidak menyebutnya belum ada.

Dalam literatur mengenai Jawa Barat, bahkan dalam buku-buku yang diprakarsai penerbitannya oleh Pemda Jabar, kujang banyak dikupas. Istilah kujang yang sedemikian populer itu, agaknya belum cukup layak untuk masuk sebagai salah satu entry dalam ensiklopedi nasional Indonesia. Kenyataan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sekalipun sangat terlambat, penelitian tentang kujang tetap perlu dilakukan. Karena kujang tidak saja "terlanjur" dijadikan lambang Pemda Jabar dan diakui senjata khas urang Sunda, tetapi melalui kujang inilah salah satu alur penelusuran kebesaran kerajaan Pajajaran diharapkan bisa kita tapaki. Melalui tulisan ini, penulis coba ketengahkan beberapa data dan analisa mengenai kujang. Penelitian ini memang baru sebuah awal dari upaya mapay raratan kujang yang diharapkan bisa melengkapi hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelusuran lebih lanjut.

Meneliti benda yang sangat dikenal namun minim literatur, sungguh sangat menantang. Hampir semua urang Sunda mengenal kujang. Namun ironisnya, tidak banyak dari mereka yang bisa menerangkan hal ihwal senjata khas itu. Dengan tetelepek, mencakup wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut, sedikit informasi mengenai kujang bisa diperoleh.

Dari enam daerah tersebut diperoleh data lisan dan data tertulis. Dari data lisan yang diperoleh melalui wawancara, secara umum informasi mengenai kujang masih berupa dugaan-dugaan. Hal ini masih menguatkan kritik atas urang Sunda yang malas mencatatkan segala sesuatu mengenai sejarah karuhun dan daerahnya sendiri. Sehingga banyak informasi penting tentang Sunda yang tercecer, dan saat dibutuhkan justru harus membuka literature berbahasa asing.

Sementara data tertulis terpenting diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi, ia telah menyusun sebuah makalah (1996) berjudul "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang yang saat ini batal dilaksanakan. Sedikit keterangan yang menarik diperoleh pula dari buku Wacana Nonoman terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku "Keris and Orther Weapons of Indonesia" karangan Mubirman, "Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat)", dan "Pengabdian DPRD DT. I Jabar", yang ketiganya ditemukan diperpustakaan Pemda Jabar. Sementara "brosur" dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat menjadi pelengkap, sebab perajin tosan aji ini adalah salah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai cinderamata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir.

KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH

Untuk mencermati lebih jauh mengenai kujang, berikut ini informasi mengenai kujang seperti terdapat dalam beberapa naskah tertulis yang diperoleh. Hal ini sebagai upaya dokumentasi naskah mengenai kujang agar memudahkan semua pihak yang hendak melakukan kajian lebih mendalam.

Menurut Anis Djatisunda yang mengambil tinjauan tentang Kujang dari Pantun Bogor, bentuk kujang yang digunakan pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran terdiri dari: Kujang Ciung, yang bentuknya menyerupai burung Ciung; Kujang Jago atau Kujang Hayam, bentuk menyerupai ayam jago; Kujang Kuntul, bentuknya menyerupai burung kuntul; Kujang Bangkong, seperti bangkong (kodok); Kujang Naga, bentuknya seperti naga; Kujang Badak, menyerupai badak; Kujang Pamangkas, alat pertanian dan Kujang Kudi, untuk perempuan. Sementara menurut jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai Kujang Pusaka, sebagai lambang keagungan yang sacral dan berkekuatan gaib; Kujang Pakarang, untuk berperang ketika diserang musuh; Kujang Pangarak, bertangkai panjang sebagai alat upacara-upacara tertentu serta Kujang Pamangkas, sebagai alat perladangan.


NAMA-NAMA BAGIAN KUJANG

Wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian yang masing-masing memiliki nama, sekalipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang yang memiliki bagian secara lengkap biasanya yang dimiliki oleh para raja, bangsawan serta pejabat tinggi kerajaan. Bagian-bagian tersebut ialah: papatuk atau congo, adalah bagian ujung kujang yang runcing untuk mencungkil; eluk (siih), lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, untuk mencabik-cabik isi perut musuh; waruga, nama bilahan atau tubuh kujang. Bagian lainnya adalah: mata, lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang. Pada awalnya tertutupi logam (bisanya emas atau perak), tetapi dari kebanyakan yang ditemukan hanya tersisa berupa lubang-lubang. Gunanya sebagai lambang tahap si pemakai. Paling banyak berjumlah 9 mata dan paling sdikit 1 mata. Ada juga sama sekali tanpa mata, yang kemudian disebut "Kujang Buta". Bagian lainnya pamor, yaitu garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang yang disebut sulakar atau tutul, biasanya mengandung racun. Selain untuk memperindah bilah kujang, juga untuk mematikan musuh secara cepat. Bagian tonggong kujang adalah sisi yang tajam di bagian punggung, biasanya untuk mengerat atau mengiris. Beuteung adalah sisi yang tajam di bagian perut, gunanya sama dengan bagian punggung. Tadah adalah lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan memelintir senjata musuh agar terpental dari genggaman. Paksi adalah bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan kedalam lubang pegangan. Combong, lubang pada kujang untuk mewadahi paksi. Selut, ring pada ujung atas pegangan, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman. Ganja atau landean, nama khas pegangan gagang dan Kopak atau kowak adalah nama khas sarung atau sarangka.

Diantara bagian kujang tadi ada yang memiliki lambang "Kemandalaan", yaitu kujang bermata sembilan. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah sembilan. Yaitu (urutan dari bawah): mandala kasungka, parmana, karna, rasa, seba, suda, jati, samar dan agung.

                                   

 Berikut beberapa Komentar yang mendukung artikel ini :

         Kujang teh pituin banda Ki Sunda, nya ku kituna nu bisa mere katerangan pikeun ngeceskeun perkara eta, bawirasa ngan wungkul Urang Sunda. Demi cirina yen nu ngeceskeun eta perkara teh Urang Sunda, dina wanda tulisan model kieu, kawasna mah taya lian ngan saukur tina basana, nyaeta basa Sunda, dina harti lain basa sejen ti eta. Upami tea mah aya dalih yen eta katerangan teh lain ngan ukur keur Urang Sunda, carek kuring langkung ti kitu, kapan website internet mah bisa dianjangan ku sadunya. Upami tea mah aya deui dalih nu sejen, upamana bae bisi teu ngartieun basa Sunda, carek kuring kieu jawabna.

1.     Nu hayang nyaho perkara kujang, geus pinasti alatan hayang nyaho perkara Sunda.
2.     Nu hayang nyaho perkara Sunda, geus pinasti bakal nalungtik banda Ki Sunda.
3.     Banda Ki Sunda nu jadi pakta, engkena bakal “nyarita” mun tea mah dipikiran.
4.     Bangsa deungeun apaleun pisan, yen pakakas geusan mikir, taya lian iwal ti basa.
5.     Lamun hayang ngarti Sunda, cara mikirna kudu kawas Urang Sunda, ku basa Sunda.
6.     Sing saha nu teu ngarti basa Sunda, geus pinasti moal ngarti saha atuh ari Ki Sunda.
7.     Ngobrolkeun Sunda ka nu teu ngarti basa Sunda, ibaratna Si Kabayan ngala nangka.

Pedaran perkara kujang nu make judul KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH lebah perkara mata Kujang mere katerangan yen gunana mata Kujang teh nyaeta perlambang tingkatan nu makena. Kecap lambang numutkeun basa Sunda (cobi parios Kamus Umum Basa Sunda wedalan LBSS), harti teh hiji barang atawa naon wae anu teu aya wujudna. Demi Kujang, kapan eces bisa dirampa lain ngan ukur ku nu bogana. Langkung utami, Kujang mah barang pakeeun, dina hartos sanes ngan saukur pintonkeuneun kawas bandera; beureum lambang kanyaah jeung kawani, bodas lambang kasucian, kaiklasan, karidoan. Walhasil, perkara naon gunana mata Kujang, teu aya kateranganana. Lebah dieu, kuring sapamadegan jeung Kai Arief (duka adi, duka sapantar, duka lanceuk, boa guru nya ?), ngagaduhan kayakinan yen sajarah Sunda geus dikakaya di baheula. Kituna mah kama’lum, saha nu teu seber mireng Sunda marakayangan ngawasa dunya numutkeun fatwa Karuhun Sunda : SUNDA (BAKAL JADI) SAAMPAR JAGAT. Carek kuring, mata Kujang mibanda guna geusan “wadah” tungtung keris, dimana asup kari miteskeun ! Kumaha ngasupkeunana ? Tah, eta kakara ngait kana tingkatan anu makena, tapi lain gunana mata Kujang, da nu jadi lambang mah reana mata Kujang. Ki Sunda nu kakara diajar metakeun Kujang, ulah dibere Kujang anu matana hiji, tapi kudu anu matana salapan, ngandung harti tingkatan nu pang handapna. Beuki lila, lamun tapisna ningkat, ganti ku anu matana dalapan. Kitu jeung kitu saterusna, pamungkasna cukup ku make Kujang nu matana ukur hiji. Tapi sok sanajan kitu, sakumaha tapisna musuh ngawasa keris, moal henteu, duhungna pasti asup kana “kurungan”, nyaeta tea ….. mata Kujang nu ngan hiji. Atuh puguh, mun teu ngapung tangtu buntung. Eta margana, sakitu taun lilana, kuring sok ngajejeran (pintonan) upacara adat panganten, ti mimiti nyawer tug nepi ka huap lingkung, tacan kungsi nyoren keris. Ari panganten mah nya kumaha karepna bae da lain kuring nu ngurus. Nu penting mah urusan kuring, nya kuring anu ngaturna. Mun teu kitu, sawios bedo.

Naon rupi anu didugikeun ku Kai Z.A. Muslim (hanjakal teu acan tepang, naha ieu teh adi, sasama, atawa lanceuk, atawa boa-boa ieu oge guru ?), nambihan kandel kayakinan kuring yen sajarah Sunda geus dikakaya ti baheulana. Anapon kayakinan kuring dijejeran ku katangtuan, wireh Nabi Muhammad teh rohmatan lil alamin. Hartina, gumebyarna lir ibarat sinar cahya nu nyaangan sajagat nata, teu aya waktu antara, harita aya harita mabra. Sahenteuna, gumebyarna nur Muhammad teh ti awit ping 1 Muharrom Taun 1 Hijriyah, anu mana upami ditingal tina kalender Masehi, ninggangna teh ping 27 Juli Taun 622 Masehi, dinten Rebo. Sedengkeun numutkeun sajarah, Islam lebet ka urang teh cenah dina abad 13, ngandung hartos selang genep abad (lamma aaaaaaaaaaaaaaamat ! kitu basa urang Bekasi). Eta margina, ngeunaan sajarah Sunda, sim kuring mah ngan percaya kana ayana barang-barang pusaka anu kudu di baraca, dihartikeun. Demi paparan, bubukur catur sajarah Sunda nu aya, carek kuring mun rek diarah omat kudu dipilih heula, ulang langsung dihuapkeun, sebab eta sadaya parantos dicampuran ku baruang ti dituna. Mun teu ngarti mending cicing, da milihan teh teu samarangan, tapi kudu binarung elmu-penemu, diparepeh jampe-pamake. Demi elmu, kaluarna teh kapan lain ukur tina carita, tapi pakta nu jadi cikal-bakalna.

Haturan dulur kuring Z.A. Muslim anu “akrab” sareng pedang pusaka Sayyidina Ali bin Abi Tholib a.s., manawi aya pigeusaneun mangpaatna, jisim kuring sumeja nguningakeun wireh kantos nampi wangsit nu eusina, upami dibantun cindekna mah, kieu :

1.     Prabu Siliwangi teh estuning manusia, hartosna sanes maung (da maung mah kapan sato).
2.     Nu katelah Kian Santang teh taya sanes iwal ti putra Prabu Siliwangi, anu saparantos nincak dewasa dipaparin kalungguhan Panglima Perang Pajajaran.
3.     Antawis Kian Santang (Panglima Perang Pajajaran) sareng Ali bin Abi Tholib (Panglima Perang Islam) nganteng tali sosobatan, sobat dalit anu sering silih anjangan.
4.     Tandaning nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang nampi tawis soca nu dibeulitkeun dina remana, dijenenganan ku jenengan nu maparinna : ALI.
5.     Ti saprak nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang ngajarkeun Islam di tatar Sunda di awitan ku sakumna tangtara Pajajaran anu aya dina asuhanana. Jalaran kitu lajeng mucunghul istilah “Sunda wiwitan Islam” nu ngandung hartos : ti harita Urang Sunda ngawitan ngagem agama Islam, da tadina mah kapan Hindu.
6.     Naon rupi nu diajarkeun ku Kian Santang ka sakumna tangtara Pajajaran, sok sanajan nyamuni, teu leupas tina panalingaan Prabu Siliwangi. Nya kumargi kitu Maha Prabu Siliwangi midamel kacindekan yen hadena ajaran Hindu, taya hartina mun dibandingkeun sareng hade ajaran Islam. Kacindekan anu pangpentingna, Prabu Siliwangi gilid manahna, sumeja ganti agama tina Hindu kana Islam. Nanging kapegung, da kapan guruna Islam teh Kian Santang, putrana ku anjeun. Tinimbangan teu merean bongan abot ku papagon Kasundaan : “Taktak moal kungsi ngaluhuran sirah”. Atuh meureun raja naon kasebutna mun tea mah mirucaan guguru ka anak ! Tapi ganti agama tetep kudu, teu bisa disisilihan. Solusina (duh, ku asa gagah nganggo basa deungeun belang), nyambung ka nomor 7.
7.     Kalayan rerencepan, Prabu Siliwangi kairing ku para abdi nagara katut tangtara nu harita mancen tugas ngajaga raja (paspampres panginten nya), ngantunkeun karaton, geusan nyamuni di hiji patempatan. Nya di dinya anjeuna ngulik ajaran Islam ngalangkungan tangtara anu bagilir. Nu anyar datang kedah medar pangalaman, naon rupi nu diajarkeun ku Kian Santang didugikeun ka Prabu Siliwangi. Nu lila mulang, nu anyar datang, murak deui pangalaman teruskeunan nu bakal datang. Kitu jeung kitu saterusna.
8.     Agama Hindu teu nyaluyuan anak cumantaka ka anu jadi bapa, agama Islam leuwih ti kitu, sebab dibarengan ku aturan sapuratina.
9.     Islam kudu diembarkeun, tapi Islam oge mahing pisan lampah ngajak bari maksa. Ari Prabu Siliwangi dibeberik ku Kian Santang teh cenah ceuk saha ? Bet kamalinaan !
Sakitu nu kapihatur, pamugia aya gunana.
Komentar dari Z. A. Muslim
Ass. Wr. Wb.
             Saupami ditilik langkung caket, pakarang kujang ampir sarimbang sareng pedang dzulfiqar -pedang pusaka kagungan Sayidina Ali bin Abi Thalib a.s- sami-sami ngagaduhan dua pangadek. Tiasa janten pakarang kujang aya patula-patalina sareng hikayat nu nyebatkeun yen Prabu Kian Santang -saurang putra Raja Pajajaran- kantos "guguru" ka sayidina Ali k.w. Wallahu a'lam. 

1 komentar:

Wawan mengatakan...

upami gaduh sareng bade dipasihkeun sms we langsung kangge program sejarah.

Posting Komentar