Iip Zulkifli Yahya
"...Ganjaran nu belapati, satria
santosa iman, Raden teu burung dileler, jimat kujang nu utama, pikeun neruskeun
lampah, pangjurung ngapung ka manggung, pamuka lawang ka Sunan. Cangkingan
lalaki langit, wangkingan lalanang jagat, wewesen leber wawanen, saratna sapira
kujang nanging jadi lantaran, Sunan Ambu mikayungyun, para jawara ngaraksa.
Kujang the dipake ciri, pusaka Tanah Pasundan, ciciren gede wewesen, pantang
lumpat ngandar jangjang, ngeok eleh ku bikang, saur galur nu cacatur, kujang
dua pangadekna..."
Kujang
adalah sebuah senjata yang unik dari segi bentuk dan kesejarahannya. Hampir
setiap orang mengenal nama Kujang, namun belum tentu bisa menjawab secara
mendalam, baik itu dari sisi bentuk maupun refleksi keberadaannnya dalam
kehidupan para penggunanya di masa lalu. Dari berbagai sumber, al. Pantun
Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, penulis
mencoba mengungkap fungsi, bentuk serta stratifikasi pemakaiannya dalam
masyarakat dimasa lalu.
Tulisan
yang dibuat oleh Sdr. Iip Zulkifli Yahya dan telah diterbitkan di Majalah
Panggung Edisi Desember 2000 ini sengaja ditampilkan secara berurutan beberapa
episode di SundaNet.Com yang intinya diharapkan bisa mengungkap berbagai hal
tentang kujang, yang tidak hanya semata-mata, dimasa kini, muncul sebagai
cinderamata, namun juga mengungkap nilai filosofi dalam bertindak, seiring
dengan kandungan dua pangadegna, yang merefleksikan adanya dua sisi ketajaman
kritis dalam kehidupan, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam
kehidupan kolektifnya (Redaksi).
Kujang,
secara umum telah diakui sebagai milik asli urang Sunda. Menjadi ciri khas,
baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata.
Lebih dari itu kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Apa sebenarnya yang istimewa dalam kujang? Mengapa ia dikesani sakral dan
memiliki daya magis? Mengapa ia yang dipilih sebagai lambang Jabar dan bukan
benda yang lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab
informasi mengenai kujang sangatlah sedikit, untuk tidak menyebutnya belum ada.
Dalam
literatur mengenai Jawa Barat, bahkan dalam buku-buku yang diprakarsai
penerbitannya oleh Pemda Jabar, kujang banyak dikupas. Istilah kujang yang
sedemikian populer itu, agaknya belum cukup layak untuk masuk sebagai salah
satu entry dalam ensiklopedi nasional Indonesia . Kenyataan ini tentu saja
sangat memprihatinkan. Sekalipun sangat terlambat, penelitian tentang kujang
tetap perlu dilakukan. Karena kujang tidak saja "terlanjur" dijadikan
lambang Pemda Jabar dan diakui senjata khas urang Sunda, tetapi melalui kujang
inilah salah satu alur penelusuran kebesaran kerajaan Pajajaran diharapkan bisa
kita tapaki. Melalui tulisan ini, penulis coba ketengahkan beberapa data dan
analisa mengenai kujang. Penelitian ini memang baru sebuah awal dari upaya
mapay raratan kujang yang diharapkan bisa melengkapi hasil-hasil penelitian
yang dilakukan sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelusuran lebih lanjut.
Meneliti
benda yang sangat dikenal namun minim literatur, sungguh sangat menantang.
Hampir semua urang Sunda mengenal kujang. Namun ironisnya, tidak banyak dari
mereka yang bisa menerangkan hal ihwal senjata khas itu. Dengan tetelepek, mencakup
wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut,
sedikit informasi mengenai kujang bisa diperoleh.
Dari
enam daerah tersebut diperoleh data lisan dan data tertulis. Dari data lisan
yang diperoleh melalui wawancara, secara umum informasi mengenai kujang masih
berupa dugaan-dugaan. Hal ini masih menguatkan kritik atas urang Sunda yang
malas mencatatkan segala sesuatu mengenai sejarah karuhun dan daerahnya
sendiri. Sehingga banyak informasi penting tentang Sunda yang tercecer, dan
saat dibutuhkan justru harus membuka literature berbahasa asing.
Sementara
data tertulis terpenting diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti
lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi, ia telah menyusun sebuah
makalah (1996) berjudul "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang
disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang yang saat ini batal
dilaksanakan. Sedikit keterangan yang menarik diperoleh pula dari buku Wacana
Nonoman terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini
diperoleh dari buku "Keris and Orther Weapons of Indonesia" karangan
Mubirman, "Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat)", dan
"Pengabdian DPRD DT. I Jabar", yang ketiganya ditemukan
diperpustakaan Pemda Jabar. Sementara "brosur" dari Gosali Pamor
Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat menjadi pelengkap, sebab perajin tosan aji
ini adalah salah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai
cinderamata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai
teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir.
KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH
Untuk
mencermati lebih jauh mengenai kujang, berikut ini informasi mengenai kujang
seperti terdapat dalam beberapa naskah tertulis yang diperoleh. Hal ini sebagai
upaya dokumentasi naskah mengenai kujang agar memudahkan semua pihak yang
hendak melakukan kajian lebih mendalam.
Menurut
Anis Djatisunda yang mengambil tinjauan tentang Kujang dari Pantun Bogor,
bentuk kujang yang digunakan pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran terdiri
dari: Kujang Ciung, yang bentuknya menyerupai burung Ciung; Kujang Jago atau
Kujang Hayam, bentuk menyerupai ayam jago; Kujang Kuntul, bentuknya menyerupai
burung kuntul; Kujang Bangkong, seperti bangkong (kodok); Kujang Naga,
bentuknya seperti naga; Kujang Badak, menyerupai badak; Kujang Pamangkas, alat
pertanian dan Kujang Kudi, untuk perempuan. Sementara menurut jenisnya, kujang
memiliki fungsi sebagai Kujang Pusaka, sebagai lambang keagungan yang sacral
dan berkekuatan gaib; Kujang Pakarang, untuk berperang ketika diserang musuh;
Kujang Pangarak, bertangkai panjang sebagai alat upacara-upacara tertentu serta
Kujang Pamangkas, sebagai alat perladangan.
NAMA-NAMA BAGIAN KUJANG
NAMA-NAMA BAGIAN KUJANG
Wujud
sebilah Kujang memiliki bagian-bagian yang masing-masing memiliki nama,
sekalipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang
yang memiliki bagian secara lengkap biasanya yang dimiliki oleh para raja,
bangsawan serta pejabat tinggi kerajaan. Bagian-bagian tersebut ialah: papatuk
atau congo ,
adalah bagian ujung kujang yang runcing untuk mencungkil; eluk (siih),
lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, untuk
mencabik-cabik isi perut musuh; waruga, nama bilahan atau tubuh kujang. Bagian
lainnya adalah: mata, lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang.
Pada awalnya tertutupi logam (bisanya emas atau perak), tetapi dari kebanyakan
yang ditemukan hanya tersisa berupa lubang-lubang. Gunanya sebagai lambang
tahap si pemakai. Paling banyak berjumlah 9 mata dan paling sdikit 1 mata. Ada juga sama sekali
tanpa mata, yang kemudian disebut "Kujang Buta". Bagian lainnya
pamor, yaitu garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang yang disebut
sulakar atau tutul, biasanya mengandung racun. Selain untuk memperindah bilah
kujang, juga untuk mematikan musuh secara cepat. Bagian tonggong kujang adalah
sisi yang tajam di bagian punggung, biasanya untuk mengerat atau mengiris.
Beuteung adalah sisi yang tajam di bagian perut, gunanya sama dengan bagian
punggung. Tadah adalah lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya
untuk menangkis dan memelintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
Paksi adalah bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan kedalam lubang
pegangan. Combong, lubang pada kujang untuk mewadahi paksi. Selut, ring pada
ujung atas pegangan, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman. Ganja atau landean,
nama khas pegangan gagang dan Kopak atau kowak adalah nama khas sarung atau
sarangka.
Diantara
bagian kujang tadi ada yang memiliki lambang "Kemandalaan", yaitu
kujang bermata sembilan. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap mandala
Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah sembilan. Yaitu (urutan dari bawah):
mandala kasungka, parmana, karna, rasa, seba, suda, jati, samar dan agung.
Berikut beberapa Komentar yang mendukung artikel ini :
Komentar
dari Ir. R. Didin Kustandi HMKK
Kujang
teh pituin banda Ki Sunda, nya ku kituna nu bisa mere katerangan pikeun
ngeceskeun perkara eta, bawirasa ngan wungkul Urang Sunda. Demi cirina yen nu
ngeceskeun eta perkara teh Urang Sunda, dina wanda tulisan model kieu, kawasna
mah taya lian ngan saukur tina basana, nyaeta basa Sunda, dina harti lain basa
sejen ti eta. Upami tea mah aya dalih yen eta katerangan teh lain ngan ukur
keur Urang Sunda, carek kuring langkung ti kitu, kapan website internet mah
bisa dianjangan ku sadunya. Upami tea mah aya deui dalih nu sejen, upamana bae
bisi teu ngartieun basa Sunda, carek kuring kieu jawabna.
1. Nu
hayang nyaho perkara kujang, geus pinasti alatan hayang nyaho perkara Sunda.
2. Nu
hayang nyaho perkara Sunda, geus pinasti bakal nalungtik banda Ki Sunda.
3. Banda
Ki Sunda nu jadi pakta, engkena bakal “nyarita” mun tea mah dipikiran.
4. Bangsa
deungeun apaleun pisan, yen pakakas geusan mikir, taya lian iwal ti basa.
5. Lamun
hayang ngarti Sunda, cara mikirna kudu kawas Urang Sunda, ku basa Sunda.
6. Sing
saha nu teu ngarti basa Sunda, geus pinasti moal ngarti saha atuh ari Ki Sunda.
7. Ngobrolkeun
Sunda ka nu teu ngarti basa Sunda, ibaratna Si Kabayan ngala nangka.
Pedaran
perkara kujang nu make judul KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH lebah perkara mata
Kujang mere katerangan yen gunana mata Kujang teh nyaeta perlambang tingkatan
nu makena. Kecap lambang numutkeun basa Sunda (cobi parios Kamus Umum Basa
Sunda wedalan LBSS), harti teh hiji barang atawa naon wae anu teu aya wujudna.
Demi Kujang, kapan eces bisa dirampa lain ngan ukur ku nu bogana. Langkung
utami, Kujang mah barang pakeeun, dina hartos sanes ngan saukur pintonkeuneun
kawas bandera; beureum lambang kanyaah jeung kawani, bodas lambang kasucian,
kaiklasan, karidoan. Walhasil, perkara naon gunana mata Kujang, teu aya
kateranganana. Lebah dieu, kuring sapamadegan jeung Kai Arief (duka adi, duka
sapantar, duka lanceuk, boa guru nya ?), ngagaduhan kayakinan yen sajarah Sunda
geus dikakaya di baheula. Kituna mah kama’lum, saha nu teu seber mireng Sunda
marakayangan ngawasa dunya numutkeun fatwa Karuhun Sunda : SUNDA (BAKAL JADI)
SAAMPAR JAGAT. Carek kuring, mata Kujang mibanda guna geusan “wadah” tungtung
keris, dimana asup kari miteskeun ! Kumaha ngasupkeunana ? Tah, eta kakara
ngait kana tingkatan anu makena, tapi lain gunana mata Kujang, da nu jadi
lambang mah reana mata Kujang. Ki Sunda nu kakara diajar metakeun Kujang, ulah
dibere Kujang anu matana hiji, tapi kudu anu matana salapan, ngandung harti
tingkatan nu pang handapna. Beuki lila, lamun tapisna ningkat, ganti ku anu
matana dalapan. Kitu jeung kitu saterusna, pamungkasna cukup ku make Kujang nu
matana ukur hiji. Tapi sok sanajan kitu, sakumaha tapisna musuh ngawasa keris,
moal henteu, duhungna pasti asup kana “kurungan”, nyaeta tea ….. mata Kujang nu
ngan hiji. Atuh puguh, mun teu ngapung tangtu buntung. Eta margana, sakitu taun
lilana, kuring sok ngajejeran (pintonan) upacara adat panganten, ti mimiti
nyawer tug nepi ka huap lingkung, tacan kungsi nyoren keris. Ari panganten mah
nya kumaha karepna bae da lain kuring nu ngurus. Nu penting mah urusan kuring,
nya kuring anu ngaturna. Mun teu kitu, sawios bedo.
Naon
rupi anu didugikeun ku Kai Z.A. Muslim (hanjakal teu acan tepang, naha ieu teh adi, sasama,
atawa lanceuk, atawa boa-boa ieu oge guru ?), nambihan kandel kayakinan kuring
yen sajarah Sunda geus dikakaya ti baheulana. Anapon kayakinan kuring dijejeran
ku katangtuan, wireh Nabi Muhammad teh rohmatan lil alamin. Hartina, gumebyarna
lir ibarat sinar cahya nu nyaangan sajagat nata, teu aya waktu antara, harita
aya harita mabra. Sahenteuna, gumebyarna nur Muhammad teh ti awit ping 1
Muharrom Taun 1 Hijriyah, anu mana upami ditingal tina kalender Masehi,
ninggangna teh ping 27 Juli Taun 622 Masehi, dinten Rebo. Sedengkeun numutkeun
sajarah, Islam lebet ka urang teh cenah dina abad 13, ngandung hartos selang
genep abad (lamma aaaaaaaaaaaaaaamat ! kitu basa urang Bekasi). Eta margina,
ngeunaan sajarah Sunda, sim kuring mah ngan percaya kana ayana barang-barang
pusaka anu kudu di baraca, dihartikeun. Demi paparan, bubukur catur sajarah
Sunda nu aya, carek kuring mun rek diarah omat kudu dipilih heula, ulang
langsung dihuapkeun, sebab eta sadaya parantos dicampuran ku baruang ti dituna.
Mun teu ngarti mending cicing, da milihan teh teu samarangan, tapi kudu
binarung elmu-penemu, diparepeh jampe-pamake. Demi elmu, kaluarna teh kapan
lain ukur tina carita, tapi pakta nu jadi cikal-bakalna.
Haturan
dulur kuring Z.A. Muslim anu “akrab” sareng pedang pusaka Sayyidina Ali bin Abi
Tholib a.s., manawi aya pigeusaneun mangpaatna, jisim kuring sumeja
nguningakeun wireh kantos nampi wangsit nu eusina, upami dibantun cindekna mah,
kieu :
1. Prabu
Siliwangi teh estuning manusia, hartosna sanes maung (da maung mah kapan sato).
2. Nu
katelah Kian Santang teh taya sanes iwal ti putra Prabu Siliwangi, anu
saparantos nincak dewasa dipaparin kalungguhan Panglima Perang Pajajaran.
3. Antawis
Kian Santang (Panglima Perang Pajajaran) sareng Ali bin Abi Tholib (Panglima
Perang Islam) nganteng tali sosobatan, sobat dalit anu sering silih anjangan.
4. Tandaning
nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang nampi tawis soca nu dibeulitkeun
dina remana, dijenenganan ku jenengan nu maparinna : ALI.
5. Ti
saprak nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang ngajarkeun Islam di tatar
Sunda di awitan ku sakumna tangtara Pajajaran anu aya dina asuhanana. Jalaran
kitu lajeng mucunghul istilah “Sunda wiwitan Islam” nu ngandung hartos : ti
harita Urang Sunda ngawitan ngagem agama Islam, da tadina mah kapan Hindu.
6. Naon
rupi nu diajarkeun ku Kian Santang ka sakumna tangtara Pajajaran, sok sanajan
nyamuni, teu leupas tina panalingaan Prabu Siliwangi. Nya kumargi kitu Maha
Prabu Siliwangi midamel kacindekan yen hadena ajaran Hindu, taya hartina mun
dibandingkeun sareng hade ajaran Islam. Kacindekan anu pangpentingna, Prabu
Siliwangi gilid manahna, sumeja ganti agama tina Hindu kana Islam. Nanging
kapegung, da kapan guruna Islam teh Kian Santang, putrana ku anjeun.
Tinimbangan teu merean bongan abot ku papagon Kasundaan : “Taktak moal kungsi
ngaluhuran sirah”. Atuh meureun raja naon kasebutna mun tea mah mirucaan guguru
ka anak ! Tapi ganti agama tetep kudu, teu bisa disisilihan. Solusina (duh, ku
asa gagah nganggo basa deungeun belang), nyambung ka nomor 7.
7. Kalayan
rerencepan, Prabu Siliwangi kairing ku para abdi nagara katut tangtara nu
harita mancen tugas ngajaga raja (paspampres panginten nya), ngantunkeun
karaton, geusan nyamuni di hiji patempatan. Nya di dinya anjeuna ngulik ajaran
Islam ngalangkungan tangtara anu bagilir. Nu anyar datang kedah medar
pangalaman, naon rupi nu diajarkeun ku Kian Santang didugikeun ka Prabu
Siliwangi. Nu lila mulang, nu anyar datang, murak deui pangalaman teruskeunan
nu bakal datang. Kitu jeung kitu saterusna.
8. Agama
Hindu teu nyaluyuan anak cumantaka ka anu jadi bapa, agama Islam leuwih ti
kitu, sebab dibarengan ku aturan sapuratina.
9. Islam
kudu diembarkeun, tapi Islam oge mahing pisan lampah ngajak bari maksa. Ari Prabu Siliwangi dibeberik ku
Kian Santang teh cenah ceuk saha ? Bet kamalinaan !
Sakitu nu kapihatur, pamugia aya gunana.
Sakitu nu kapihatur, pamugia aya gunana.
Komentar dari Z. A. Muslim
Ass. Wr. Wb.
Saupami ditilik langkung caket, pakarang kujang ampir sarimbang sareng
pedang dzulfiqar -pedang pusaka kagungan Sayidina Ali bin Abi Thalib a.s-
sami-sami ngagaduhan dua pangadek. Tiasa janten pakarang kujang aya
patula-patalina sareng hikayat nu nyebatkeun yen Prabu Kian Santang -saurang
putra Raja Pajajaran- kantos "guguru" ka sayidina Ali k.w. Wallahu
a'lam.
1 komentar:
upami gaduh sareng bade dipasihkeun sms we langsung kangge program sejarah.
Posting Komentar