Senin, 27 Mei 2013

KUJANG ?


Ada sebuah senjata unik yang pada mulanya berasal dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (Sunda). Senjata ini dikenal dengan nama Kujang. Tak adanya kata yang pantas di dalam bahasa Inggris, sehingga Kujang dianggap sama dengan “sickle” (= arit/sabit), sekalipun wujudnya menyimpang dari bentuk asli sebuah arit/sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang  bentuknya cembung. Dan di Indonesia sendiri arit/sabit sebetulnya disebut “chelurit” (celurit). Kehidupan orang-orang Jawa di sebelah Timur Pulau Jawa menyebut Kujang sebagai ”kudi”. Bagi mereka yang tidak mengetahui, penduduk asli Pulau Jawa tidak semuanya asli orang Jawa. Di bagian Barat Pulau Jawa mayoritas diduduki oleh etnik Sunda. Dan Kujang merupakan satu-satunya monumen Kota Bogor, Indonesia.
Kujang penuh dengan misteri. Dikatakan bahwa Kujang didalamnya memiliki sebuah kekuatan magis dengan maksud yang penuh rahasia (gaib). Menambahkan di dalam  figure Kujang yang sesungguhnya, terletak/terdapat suatu filosofi Orang Sunda Kuno dengan filosofi Warisan Hindu. Adalah jelas sekali dari sebelumnya bahwa “pedang” mistik ini telah diciptakan lebih sebagai azimat, a symbolical object d’art, daripada sebagai sebuah senjata.
Ciptaan asli dari Kujang sebenarnya terinspirasi dari sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini tekah dipergunakan secara luas pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-7 Masehi. Kujang terbaru dibuat sedikit berbeda from the tilling implements fashioned by the pandai besi terkenal, Mpu Windusarpo, Mpu Ramayadi, dan Mpu Mercukundo, sebagaimana yang dapat kita lihat di museum lokal. Hanya saja pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-12 Masehi wujud dari Kujang berbentuk seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada tahun 1170 terjadi perubahan pada Kujang. Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat  telah diakui secara berangsur-angsur oleh raja dan bangsawan dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean. Pada waktu di salah satu tempat bertapanya, Kudo Lalean mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk dari Kujang dengan menyesuaikan bentuknya dengan bentuk dari Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Jawa pada saat itu. Dengan segera raja menugaskan keluarga kerajaan pandai besi, Mpu Windu Supo, untuk membuat mata pisau (Kujang) yang ada di dalam pikirannya. Ini telah menaruh sifat-sifat mistik dan filosofi spiritual; sebuah objek bertenaga gaib, unik didalam desainnya, sesuatu yang pada generasi mendatang akan selalu berasosiasi dengan Kerajaan Pajajaran Makukuhan.
Setelah masa meditasinya, Mpu Windu Supo menetapkan bayangan dari Kudo Lalean (visualisasi) dan memulainya dengan membuat sebuah prototype (bentuk dasar/purwa rupa) Kujang tersebut. Kujang ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok: bentuknya yang menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya.
Membuat pisau Kujang yang menyerupai bentuk Pulau Jawa mengartikan cita-cita akan penyatuan kerajaan-kerajaan kecil Jawa menjadi satu kerajaan, yang dikepalai oleh Raja Kerajaan Makukuhan. Tiga lubang pada pisaunya untuk melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga digambarkan/diwakilkan dengan 3 kerajaan utama pada masanya, secara berturut-turut, Kerajaan Pengging Wiraradya, berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, berlokasi di north-east of island; dan Kerajaan Pajajaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah dibentuk ulang menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini sebagian muslihat dari wilayah Pasundan, Prabu Kian Santang, yang merasa khawatir untuk merubah rakyat menjadi Islam. Mengetahui bahwa Kujang menyimpan filosofi Hindu dan agama dari kultur yang ada, para raja muslim, imam dan guru, khawatir untuk menyebarkan Islam dan menyebarkan ajarannya, membuat ulang Kujang untuk menggambarkan dasar dari agama mereka. Syin adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucapkan kalimat syahadat, ia (tiap manusia) secara otomatis masuk Islam. Modifikasi Kujang memperluas area mata pisau dimana secara geografis sesuai kepada Pasundan atau Jawa bagian Barat untuk menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. 5 lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Dengan pengaruh agama Islam, beberapa model Kujang melukiskan inter-blending penghapusan paduan akan 2 style/gaya dasar dari Kujang yang didesain oleh Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang.
Sekarang ini, Kujang biasa dipajang untuk mendekorasi rumah yang diyakini bisa membawa semacam keberuntungan, memberikan perlindungan, kehormatan, dll. Kujang biasanya dipajang berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabu/larangan, bagaimanapun, tidak seorangpun boleh mengambil fotonya sedang berdiri diantara 2 Kujang tersebut, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut didalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa kurang. Saya telah diyakinkan oleh seorang praktisioner senior Kejawen mengenai kebenaran hal ini, sebagaimana beliau telah menyaksi sendiri. Kenapa kejadian ini tidak diketahui secara pasti, kita mungkin menganggap ini sebagai takhayul, suatu kebetulan atau synchronicity tetapi di balik setiap fenomena hukum alam dan itelejensi/kecerdasan bekerja; kita hanya perlu mencaritahu apakah hukum tersebut dan kesiapan fikir/pemikiran tentang kecerdasan metafisika mengarah pada hukum tersebut untuk mengetahui alasan atas keganjilan.

                               

Keris and Other Weapons of Indonesia


THE KUDI OR KUJANG
by Mr. Moebirman

It was since long prior to the Hindu Javanese period of civilization that Indonesian empu's or master smiths have produced the kudi (Javanese) or the kujang (sundanese) as a weapon of some mystical importance (as a kind of tumbal). Certain offerings, sajen-sajen, were carefully prepared for the service of the kujang (being the medium of the ancestral spirits) as much to evoke at regular times the 'good spirits' from the other world.
Rituals were also carried out in due time, so that the people would be blessed with good health and fortune. The solemn ceremonies preceding the composition of works of art and its manifestations evidently prove that the Indonesian artists are conscious of the fact that art is closely related to the supernatural. The people of the past held the same opinion as they had a more or less primitive outlook upon life, which is generally referred to as a kind of animism. This animistic belief is founded so far on three basic principles:
a)     the belief in the existence of a 'soul matter', which can incorporate into a human body or a definite object, and which gives life to everything existing.
b)    the belief in an individual soul, which continues its existence after death.
c)     the belief in spiritual beings and deities, having human qualities, which are supposed to be able to influence mankind either harmfully or beneficially.

Already Plato (427 - 347 B.C), the Greek philosopher, thought that all natural objects were imperfect representations or symbols of perfect divine ideas. But on the other hand, according to other philosophers, man endeavors through art to approach closer to these divine ideas than nature might accomplish to the beings of things, the transcending, ideal realities, than nature. And, this explains how, for instance, a painter or a sculptor succeeds in composing a. perfect picture of an object having beauty defects. Our irresistible impulse towards the perfect, beautiful and harmonic must, therefore, stand in direct correlation with the beings of mankind in whom has been created a notion of the existence of higher, esoteric spheres and, who, consciously or unconsciously, takes his inner feelings as the basis for every artistic endeavor. Religion or belief is the translation of the mind, and art the interpretation of the senses of this metaphysical notion.
In this case the relation of religion to art is clearly evident from the meaning of each symbol with the so called pamor motifs, as also with the carvings of keris grips, and the various forms of the kudi.

Form of the Kudi
Various forms of the kudi or the kujang are found in places scattered over the country (the Alor islands, Java, Madura, Bali, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan). and it seems that the bronze axes ever made during the Dong Song period before the beginning of our era have given form to the first kudi's or kujang's of a later period.
As said before, the most ordinary kudi in Java and elsewhere resembles a deer's horn (tanduk kijang) branched into two side antlers. Some other kudi's look like a bird-head as regards its upper part. Pamor or damascening art is sometimes applied to the technique of forging with the production of the so called 'kudi pusaka'. Very scarce are those ones embellished with a cut out representing some wayang face in profile, which can be seen on the back of the blade's top (Semar figure).
As a pusaka heirloom, the kudi is once kept in the collection of sacred weapons belonging to the kraton of the sultan Sepuh of Cirebon, and another one to the kraton of the sultan of Jogjakarta. The kudi belonging to the collection of the late Pangeran of Pamekasan (± 1853) is performed with 30 holes in the blade. The number of holes has its special meaning, and it is said that this corresponds with the number of merits of its bearer. Sometimes, the holes are filled with gold or with the so called besi kuning, which contains a supernatural force of some sort. Some explications are given on the subject, but they are rather confusing and no definite interpretation can be given till now.
As a sacred weapon, the kudi can be seen in the hands of hermits on bas-reliefs of the famous Borobudhur temple in Central Java. It was also recorded that king Adityawarman (the first king of Minangkabau) has ever kept a kind of kudi as a state-weapon (1345-1375). The well known and mighty Prabu Siliwangi, king of Pajajaran has also possessed a sacred kujang, and this inspires the Siliwangi Army division of today to use it as a symbol of power and strength in the emblems. (3)
Not unlike the keris pusaka, which has found its way throughout the life stories of our national heroes (a.o. Pangeran Diponegoro, Prabu Brawijaya, Untung Suropati, and others), so did the kudi or kujang, in a certain way, play its role as a weapon of mystical sense and as a symbol of sovereignty.
Later on, this curious arm was made only after special order of the raja or the sultan concerned, and after first being inspired by the deities. The kudi forms part of the royal collection of sacred weapons, known by the name of ampitan in the Principalities of Central Java; it is a state-weapon of primary rank.
However, after the propagation of the Islam since the 13th century in Indonesia, all forms of idolatry and superstition were soon in contradiction with the principles of the new religion. Hence, the proto type of the sacred kudi (kujang pusaka) gave only reason to some unknown metal workers toward the ingenious idea to use the basic structure of the weapon, merely for practical purposes. By deviating somewhat from the original form, a similar piece of work in the shape of a deer's horn (with two branches) was created yet bearing the same name soon as the master smiths found that the main form of the kudi should lend itself excellently to both chopping and paring some tough materials. In some way, this succeeding tool can be used effectively, for example, in taking out the copra form its tough rind and afterwards from its stone hard shell (batok kelapa). Nevertheless, it is evident from the foregoing that in whatever situation the kudi might be considered and adopted by the mass, the weapon has continued to exist although in another function than before and to develop further into various forms according to the traditional art of the people.
During the ages of social and cultural progress in Indonesia, the kudi has changed gradually of its primary function, namely from a weapon of magic religious sense during the remotest past into a practical tool of the present. Beside the name of khodiq, the tool is also called caluk in Madura, and calok in Javanese. (2)
The main difference between the kudi pusaka (as a state weapon) and the ordinary kudi (as a tool) lies only in the absence of pamor damascenings with the latter, as its intricate technique of forging has disappeared since the decline of the Majapahit kingdom.

Footnotes
1.     to compare also with the verb kampit meaning to own something, to take possession of.
2.     In a very special case the word caluk (from calui in Chinese) indicates a go-between who unfairly used to chop the smooth and easy course of business in order to make profit.
3.     Some experts in this field are inclined to associate the meaning of 'kujang' with that of 'kijang' by assuming that some corruption could take place within this scope, for, the main form of the ordinary kudi yet bears witness of itself. 

Sabtu, 25 Mei 2013

KUJANG: Senjata Khas Urang Sunda


Iip Zulkifli Yahya

"...Ganjaran nu belapati, satria santosa iman, Raden teu burung dileler, jimat kujang nu utama, pikeun neruskeun lampah, pangjurung ngapung ka manggung, pamuka lawang ka Sunan. Cangkingan lalaki langit, wangkingan lalanang jagat, wewesen leber wawanen, saratna sapira kujang nanging jadi lantaran, Sunan Ambu mikayungyun, para jawara ngaraksa. Kujang the dipake ciri, pusaka Tanah Pasundan, ciciren gede wewesen, pantang lumpat ngandar jangjang, ngeok eleh ku bikang, saur galur nu cacatur, kujang dua pangadekna..."

       Kujang adalah sebuah senjata yang unik dari segi bentuk dan kesejarahannya. Hampir setiap orang mengenal nama Kujang, namun belum tentu bisa menjawab secara mendalam, baik itu dari sisi bentuk maupun refleksi keberadaannnya dalam kehidupan para penggunanya di masa lalu. Dari berbagai sumber, al. Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, penulis mencoba mengungkap fungsi, bentuk serta stratifikasi pemakaiannya       dalam masyarakat dimasa lalu.

Tulisan yang dibuat oleh Sdr. Iip Zulkifli Yahya dan telah diterbitkan di Majalah Panggung Edisi Desember 2000 ini sengaja ditampilkan secara berurutan beberapa episode di SundaNet.Com yang intinya diharapkan bisa mengungkap berbagai hal tentang kujang, yang tidak hanya semata-mata, dimasa kini, muncul sebagai cinderamata, namun juga mengungkap nilai filosofi dalam bertindak, seiring dengan kandungan dua pangadegna, yang merefleksikan adanya dua sisi ketajaman kritis dalam kehidupan, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan kolektifnya (Redaksi).

Kujang, secara umum telah diakui sebagai milik asli urang Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata. Lebih dari itu kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dalam kujang? Mengapa ia dikesani sakral dan memiliki daya magis? Mengapa ia yang dipilih sebagai lambang Jabar dan bukan benda yang lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab informasi mengenai kujang sangatlah sedikit, untuk tidak menyebutnya belum ada.

Dalam literatur mengenai Jawa Barat, bahkan dalam buku-buku yang diprakarsai penerbitannya oleh Pemda Jabar, kujang banyak dikupas. Istilah kujang yang sedemikian populer itu, agaknya belum cukup layak untuk masuk sebagai salah satu entry dalam ensiklopedi nasional Indonesia. Kenyataan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sekalipun sangat terlambat, penelitian tentang kujang tetap perlu dilakukan. Karena kujang tidak saja "terlanjur" dijadikan lambang Pemda Jabar dan diakui senjata khas urang Sunda, tetapi melalui kujang inilah salah satu alur penelusuran kebesaran kerajaan Pajajaran diharapkan bisa kita tapaki. Melalui tulisan ini, penulis coba ketengahkan beberapa data dan analisa mengenai kujang. Penelitian ini memang baru sebuah awal dari upaya mapay raratan kujang yang diharapkan bisa melengkapi hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelusuran lebih lanjut.

Meneliti benda yang sangat dikenal namun minim literatur, sungguh sangat menantang. Hampir semua urang Sunda mengenal kujang. Namun ironisnya, tidak banyak dari mereka yang bisa menerangkan hal ihwal senjata khas itu. Dengan tetelepek, mencakup wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut, sedikit informasi mengenai kujang bisa diperoleh.

Dari enam daerah tersebut diperoleh data lisan dan data tertulis. Dari data lisan yang diperoleh melalui wawancara, secara umum informasi mengenai kujang masih berupa dugaan-dugaan. Hal ini masih menguatkan kritik atas urang Sunda yang malas mencatatkan segala sesuatu mengenai sejarah karuhun dan daerahnya sendiri. Sehingga banyak informasi penting tentang Sunda yang tercecer, dan saat dibutuhkan justru harus membuka literature berbahasa asing.

Sementara data tertulis terpenting diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi, ia telah menyusun sebuah makalah (1996) berjudul "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang yang saat ini batal dilaksanakan. Sedikit keterangan yang menarik diperoleh pula dari buku Wacana Nonoman terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku "Keris and Orther Weapons of Indonesia" karangan Mubirman, "Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat)", dan "Pengabdian DPRD DT. I Jabar", yang ketiganya ditemukan diperpustakaan Pemda Jabar. Sementara "brosur" dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat menjadi pelengkap, sebab perajin tosan aji ini adalah salah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai cinderamata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir.

KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH

Untuk mencermati lebih jauh mengenai kujang, berikut ini informasi mengenai kujang seperti terdapat dalam beberapa naskah tertulis yang diperoleh. Hal ini sebagai upaya dokumentasi naskah mengenai kujang agar memudahkan semua pihak yang hendak melakukan kajian lebih mendalam.

Menurut Anis Djatisunda yang mengambil tinjauan tentang Kujang dari Pantun Bogor, bentuk kujang yang digunakan pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran terdiri dari: Kujang Ciung, yang bentuknya menyerupai burung Ciung; Kujang Jago atau Kujang Hayam, bentuk menyerupai ayam jago; Kujang Kuntul, bentuknya menyerupai burung kuntul; Kujang Bangkong, seperti bangkong (kodok); Kujang Naga, bentuknya seperti naga; Kujang Badak, menyerupai badak; Kujang Pamangkas, alat pertanian dan Kujang Kudi, untuk perempuan. Sementara menurut jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai Kujang Pusaka, sebagai lambang keagungan yang sacral dan berkekuatan gaib; Kujang Pakarang, untuk berperang ketika diserang musuh; Kujang Pangarak, bertangkai panjang sebagai alat upacara-upacara tertentu serta Kujang Pamangkas, sebagai alat perladangan.


NAMA-NAMA BAGIAN KUJANG

Wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian yang masing-masing memiliki nama, sekalipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang yang memiliki bagian secara lengkap biasanya yang dimiliki oleh para raja, bangsawan serta pejabat tinggi kerajaan. Bagian-bagian tersebut ialah: papatuk atau congo, adalah bagian ujung kujang yang runcing untuk mencungkil; eluk (siih), lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, untuk mencabik-cabik isi perut musuh; waruga, nama bilahan atau tubuh kujang. Bagian lainnya adalah: mata, lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang. Pada awalnya tertutupi logam (bisanya emas atau perak), tetapi dari kebanyakan yang ditemukan hanya tersisa berupa lubang-lubang. Gunanya sebagai lambang tahap si pemakai. Paling banyak berjumlah 9 mata dan paling sdikit 1 mata. Ada juga sama sekali tanpa mata, yang kemudian disebut "Kujang Buta". Bagian lainnya pamor, yaitu garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang yang disebut sulakar atau tutul, biasanya mengandung racun. Selain untuk memperindah bilah kujang, juga untuk mematikan musuh secara cepat. Bagian tonggong kujang adalah sisi yang tajam di bagian punggung, biasanya untuk mengerat atau mengiris. Beuteung adalah sisi yang tajam di bagian perut, gunanya sama dengan bagian punggung. Tadah adalah lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan memelintir senjata musuh agar terpental dari genggaman. Paksi adalah bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan kedalam lubang pegangan. Combong, lubang pada kujang untuk mewadahi paksi. Selut, ring pada ujung atas pegangan, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman. Ganja atau landean, nama khas pegangan gagang dan Kopak atau kowak adalah nama khas sarung atau sarangka.

Diantara bagian kujang tadi ada yang memiliki lambang "Kemandalaan", yaitu kujang bermata sembilan. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah sembilan. Yaitu (urutan dari bawah): mandala kasungka, parmana, karna, rasa, seba, suda, jati, samar dan agung.

                                   

 Berikut beberapa Komentar yang mendukung artikel ini :

         Kujang teh pituin banda Ki Sunda, nya ku kituna nu bisa mere katerangan pikeun ngeceskeun perkara eta, bawirasa ngan wungkul Urang Sunda. Demi cirina yen nu ngeceskeun eta perkara teh Urang Sunda, dina wanda tulisan model kieu, kawasna mah taya lian ngan saukur tina basana, nyaeta basa Sunda, dina harti lain basa sejen ti eta. Upami tea mah aya dalih yen eta katerangan teh lain ngan ukur keur Urang Sunda, carek kuring langkung ti kitu, kapan website internet mah bisa dianjangan ku sadunya. Upami tea mah aya deui dalih nu sejen, upamana bae bisi teu ngartieun basa Sunda, carek kuring kieu jawabna.

1.     Nu hayang nyaho perkara kujang, geus pinasti alatan hayang nyaho perkara Sunda.
2.     Nu hayang nyaho perkara Sunda, geus pinasti bakal nalungtik banda Ki Sunda.
3.     Banda Ki Sunda nu jadi pakta, engkena bakal “nyarita” mun tea mah dipikiran.
4.     Bangsa deungeun apaleun pisan, yen pakakas geusan mikir, taya lian iwal ti basa.
5.     Lamun hayang ngarti Sunda, cara mikirna kudu kawas Urang Sunda, ku basa Sunda.
6.     Sing saha nu teu ngarti basa Sunda, geus pinasti moal ngarti saha atuh ari Ki Sunda.
7.     Ngobrolkeun Sunda ka nu teu ngarti basa Sunda, ibaratna Si Kabayan ngala nangka.

Pedaran perkara kujang nu make judul KUJANG DALAM BEBERAPA NASKAH lebah perkara mata Kujang mere katerangan yen gunana mata Kujang teh nyaeta perlambang tingkatan nu makena. Kecap lambang numutkeun basa Sunda (cobi parios Kamus Umum Basa Sunda wedalan LBSS), harti teh hiji barang atawa naon wae anu teu aya wujudna. Demi Kujang, kapan eces bisa dirampa lain ngan ukur ku nu bogana. Langkung utami, Kujang mah barang pakeeun, dina hartos sanes ngan saukur pintonkeuneun kawas bandera; beureum lambang kanyaah jeung kawani, bodas lambang kasucian, kaiklasan, karidoan. Walhasil, perkara naon gunana mata Kujang, teu aya kateranganana. Lebah dieu, kuring sapamadegan jeung Kai Arief (duka adi, duka sapantar, duka lanceuk, boa guru nya ?), ngagaduhan kayakinan yen sajarah Sunda geus dikakaya di baheula. Kituna mah kama’lum, saha nu teu seber mireng Sunda marakayangan ngawasa dunya numutkeun fatwa Karuhun Sunda : SUNDA (BAKAL JADI) SAAMPAR JAGAT. Carek kuring, mata Kujang mibanda guna geusan “wadah” tungtung keris, dimana asup kari miteskeun ! Kumaha ngasupkeunana ? Tah, eta kakara ngait kana tingkatan anu makena, tapi lain gunana mata Kujang, da nu jadi lambang mah reana mata Kujang. Ki Sunda nu kakara diajar metakeun Kujang, ulah dibere Kujang anu matana hiji, tapi kudu anu matana salapan, ngandung harti tingkatan nu pang handapna. Beuki lila, lamun tapisna ningkat, ganti ku anu matana dalapan. Kitu jeung kitu saterusna, pamungkasna cukup ku make Kujang nu matana ukur hiji. Tapi sok sanajan kitu, sakumaha tapisna musuh ngawasa keris, moal henteu, duhungna pasti asup kana “kurungan”, nyaeta tea ….. mata Kujang nu ngan hiji. Atuh puguh, mun teu ngapung tangtu buntung. Eta margana, sakitu taun lilana, kuring sok ngajejeran (pintonan) upacara adat panganten, ti mimiti nyawer tug nepi ka huap lingkung, tacan kungsi nyoren keris. Ari panganten mah nya kumaha karepna bae da lain kuring nu ngurus. Nu penting mah urusan kuring, nya kuring anu ngaturna. Mun teu kitu, sawios bedo.

Naon rupi anu didugikeun ku Kai Z.A. Muslim (hanjakal teu acan tepang, naha ieu teh adi, sasama, atawa lanceuk, atawa boa-boa ieu oge guru ?), nambihan kandel kayakinan kuring yen sajarah Sunda geus dikakaya ti baheulana. Anapon kayakinan kuring dijejeran ku katangtuan, wireh Nabi Muhammad teh rohmatan lil alamin. Hartina, gumebyarna lir ibarat sinar cahya nu nyaangan sajagat nata, teu aya waktu antara, harita aya harita mabra. Sahenteuna, gumebyarna nur Muhammad teh ti awit ping 1 Muharrom Taun 1 Hijriyah, anu mana upami ditingal tina kalender Masehi, ninggangna teh ping 27 Juli Taun 622 Masehi, dinten Rebo. Sedengkeun numutkeun sajarah, Islam lebet ka urang teh cenah dina abad 13, ngandung hartos selang genep abad (lamma aaaaaaaaaaaaaaamat ! kitu basa urang Bekasi). Eta margina, ngeunaan sajarah Sunda, sim kuring mah ngan percaya kana ayana barang-barang pusaka anu kudu di baraca, dihartikeun. Demi paparan, bubukur catur sajarah Sunda nu aya, carek kuring mun rek diarah omat kudu dipilih heula, ulang langsung dihuapkeun, sebab eta sadaya parantos dicampuran ku baruang ti dituna. Mun teu ngarti mending cicing, da milihan teh teu samarangan, tapi kudu binarung elmu-penemu, diparepeh jampe-pamake. Demi elmu, kaluarna teh kapan lain ukur tina carita, tapi pakta nu jadi cikal-bakalna.

Haturan dulur kuring Z.A. Muslim anu “akrab” sareng pedang pusaka Sayyidina Ali bin Abi Tholib a.s., manawi aya pigeusaneun mangpaatna, jisim kuring sumeja nguningakeun wireh kantos nampi wangsit nu eusina, upami dibantun cindekna mah, kieu :

1.     Prabu Siliwangi teh estuning manusia, hartosna sanes maung (da maung mah kapan sato).
2.     Nu katelah Kian Santang teh taya sanes iwal ti putra Prabu Siliwangi, anu saparantos nincak dewasa dipaparin kalungguhan Panglima Perang Pajajaran.
3.     Antawis Kian Santang (Panglima Perang Pajajaran) sareng Ali bin Abi Tholib (Panglima Perang Islam) nganteng tali sosobatan, sobat dalit anu sering silih anjangan.
4.     Tandaning nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang nampi tawis soca nu dibeulitkeun dina remana, dijenenganan ku jenengan nu maparinna : ALI.
5.     Ti saprak nyobat sareng Ali bin Abi Tholib, Kian Santang ngajarkeun Islam di tatar Sunda di awitan ku sakumna tangtara Pajajaran anu aya dina asuhanana. Jalaran kitu lajeng mucunghul istilah “Sunda wiwitan Islam” nu ngandung hartos : ti harita Urang Sunda ngawitan ngagem agama Islam, da tadina mah kapan Hindu.
6.     Naon rupi nu diajarkeun ku Kian Santang ka sakumna tangtara Pajajaran, sok sanajan nyamuni, teu leupas tina panalingaan Prabu Siliwangi. Nya kumargi kitu Maha Prabu Siliwangi midamel kacindekan yen hadena ajaran Hindu, taya hartina mun dibandingkeun sareng hade ajaran Islam. Kacindekan anu pangpentingna, Prabu Siliwangi gilid manahna, sumeja ganti agama tina Hindu kana Islam. Nanging kapegung, da kapan guruna Islam teh Kian Santang, putrana ku anjeun. Tinimbangan teu merean bongan abot ku papagon Kasundaan : “Taktak moal kungsi ngaluhuran sirah”. Atuh meureun raja naon kasebutna mun tea mah mirucaan guguru ka anak ! Tapi ganti agama tetep kudu, teu bisa disisilihan. Solusina (duh, ku asa gagah nganggo basa deungeun belang), nyambung ka nomor 7.
7.     Kalayan rerencepan, Prabu Siliwangi kairing ku para abdi nagara katut tangtara nu harita mancen tugas ngajaga raja (paspampres panginten nya), ngantunkeun karaton, geusan nyamuni di hiji patempatan. Nya di dinya anjeuna ngulik ajaran Islam ngalangkungan tangtara anu bagilir. Nu anyar datang kedah medar pangalaman, naon rupi nu diajarkeun ku Kian Santang didugikeun ka Prabu Siliwangi. Nu lila mulang, nu anyar datang, murak deui pangalaman teruskeunan nu bakal datang. Kitu jeung kitu saterusna.
8.     Agama Hindu teu nyaluyuan anak cumantaka ka anu jadi bapa, agama Islam leuwih ti kitu, sebab dibarengan ku aturan sapuratina.
9.     Islam kudu diembarkeun, tapi Islam oge mahing pisan lampah ngajak bari maksa. Ari Prabu Siliwangi dibeberik ku Kian Santang teh cenah ceuk saha ? Bet kamalinaan !
Sakitu nu kapihatur, pamugia aya gunana.
Komentar dari Z. A. Muslim
Ass. Wr. Wb.
             Saupami ditilik langkung caket, pakarang kujang ampir sarimbang sareng pedang dzulfiqar -pedang pusaka kagungan Sayidina Ali bin Abi Thalib a.s- sami-sami ngagaduhan dua pangadek. Tiasa janten pakarang kujang aya patula-patalina sareng hikayat nu nyebatkeun yen Prabu Kian Santang -saurang putra Raja Pajajaran- kantos "guguru" ka sayidina Ali k.w. Wallahu a'lam. 

Jumat, 24 Mei 2013

KUJANG, PANDAY DAN MARANGGI


(Suatu penelusuran filosofis penamaan dan definisi)
    oleh: dr.R.Wisnu Kusumawardana

Rupa-rupanya para Leluhur pendiri Tatar Sunda betul betul sangat paham psikologi rakyatnya, terbukti banyak produk budaya yang sampai masa sekarang masih ada dan lestari. Produk produk budaya tersebut diwujudkan dalam dua bentuk, wujud pertama adalah produk yang tidak tertulis / bukan materi yaitu kesenian tradisional, carita tutur pantun, tata aturan sosial serta hukum-hukum adatnya, sedangkan wujud yang kedua adalah produk yang berwujud materi yaitu berupa artefak menhir-dolmen ,teras berundak, candi, naskah kuno, kujang, bedog, baju adat, bangunan kuno dan lain-lain masih banyak lagi. Produk produk budaya tersebut sangat khas dan indah, dikatakan sangat khas karena berbeda dengan daerah lain dan dikatakan indah secara estetik maupun filosofis karena sejak awal diciptakan penuh dengan kaidah kaidah yang secara dimensi formal ada ‘benang merah’ dengan tata aturan sosialnya.

Pada tulisan ini, menitikberatkan upaya tentang penelusuran filosofis penamaan sekaligus definisi Kujang, selain menarik dan khas Pasundan (menjadi ikon/lambang pemerintah daerah Jawa Barat), tulisan serta penelitian tentangnya pun masih sedikit. Hal ini cukup beralasan, karena memang sumber primer yang ada ‘sangat sedikit’, atau belum banyak diketemukan, atau bahkan banyak yang tidak berminat. Kenyataan seperti diatas, yaitu aspek ke-khas-an Kujang menjadikannya obyek kajian yang panjang, dengan alas an sebagai berikut:
1.      Bahwa penamaan Kujang itu sendiri merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dikaji. Dari manakah asal nama Kujang?
2.      Bahwa artefak Kujang tentunya tidak pernah lepas dari induk kebudayaannya. Apakah benar Kujang berasal dari wilayah Pasundan? Buktinya apa?
3.      Kebudayaan,termasuk artefaknya,tentunya berubah tiap tiap zaman, sehingga Kujang sebagai hasil produk kebudayaan tentunya juga mengalami proses perubahan, baik bentuk maupun maknanya, sesuai tuntutan zaman. Seperti apakah bentuk awal Kujang itu?
4.      Kebudayaan adalah wujud dari proses berkesadaran yang secara konstruktif dan akumulatif membangun manusianya. Konsep terwujudnya Kujang pada setiap Panday atau Guru Teupa apakah sama pada kurun waktu yang sama maupun yang beda?
5.      Dalam kaitannya dimensi ruang, andaikan terjadi ada migrasi  masyarakat Pasundan ke suatu negara lain  yang kemudian disana membuat Kujang dengan segala jenis variasinya, bagaimana bila terjadi negeri baru yang mereka diami mengklaim bahwa Kujang adalah asli berasal dari negeri mereka? (ingat kasus Reog Ponorogo).

Sebenarnya, masalah pokok yang muncul pada aspek kekhasannya adalah sedikitnya data primer yang mendukung ke-autentik-an nya dan lagipula artefak yang ada, asal usulnya banyak yang tidak jelas.  Selain daripada masalah itu, Kujang rupanya pada zaman ini rupanya ‘sudah  populer’ menjadi ikon Jawa Barat dan bahkan menjadi simbol resmi Pemda Prop.Jabar.  Adanya kesenjangan antara teori yang mendukung keabsahan orisinalitasnya dengan praktek penggunaan di lapangan seperti simbol simbol serta lambang, hal ini menjadikan Kujang untuk ‘segera secepatnya’ dikaji, diteliti, dikonservasi dan dicari sumber primer yang ‘sah’ dan ‘meyakinkan’, yang secepatnya pula agar diakui secara Internasional dengan disahkan oleh UNESCO, bahwa Kujang benar benar milik masyarakat Pasundan / Indonesia.

Untuk analisis obyektif data tentang Kujang ini, bukanlah hal yang mudah, mengingat minimnya data dan sedikitnya artefak yang jelas asal usulnya, selain itu pula, menggali pengertian obyektif masa lalu sesuai dengan masanya juga merupakan suatu upaya mirip ‘peneropongan’ atau menembus dimensi waktu. Akan tetapi tetap diupayakan se ‘logis’ mungkin, dengan melihat fakta fakta tentangnya yaitu antara lain : artefak kujang, pemuatan dalam naskah kuno, situs peninggalan kuno, berita pantun serta beberapa makalah. Dengan hadirnya fakta fakta tersebut, muncul beberapa pertanyaan yaitu :
1.      Apa arti dari fakta yang kita lihat itu? Dan mengapa keadaannya demikian?
2.      Apa yang terjadi disana? Apakah ada hubungan tertentu antara yang dilihat itu?
3.      Apakah sebabnya terjadi fakta fakta tersebut?
           
            Pertanyaan pertanyaan yang muncul diatas adalah yang akan dibahas sesuai dengan relevansi judulnya. Kujang terwujud akibat diwujudkan oleh Panday, dan diperindah tampilannya dengan hadirnya sarung / sarangka hasil garapan maranggi. Tiga hal yaitu panday,maranggi dan kujang adalah satu kesatuan, maka panday serta maranggi  akan dibahas pada awal tulisan ini walaupun singkat. 

 PENGETAHUAN TENTANG PANDAY

            Pada jaman sekarang, orang mengenal kata kata Panday identik dengan panday besi maupun panday perhiasan / mas, demikian pula pengertian tentangnya pun dianggap sebagai orang yang hidup berprofesi dengan memanfaatkan bahan baku logam sebagai bahan utama untuk menciptakan suatu barang logam untuk membantu keperluan hidup, seperti cangkul, sabit, kapak, linggis dan lain lain. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa dalam hampir semua catatan sejarah menunjukkan  seorang Panday adalah sangat didominasi oleh laki-laki (walaupun ada segelintir yang perempuan), selain memang pekerjaan ini memerlukan otot kuat jasmaniah tampaknya didukung pula secara rohaniah oleh budaya yang sifatnya masih Patriarkal.  Dengan pendekatan kritis-refleksif, keadaan / realita seperti ini membawa konsekuensi bahwa hasil karya Panday sebagai representasi, meminjam istilah Syarifah (2006), merupakan salah satu bentuk dari hasil penalaran yang berorientasi pada kepentingan laki-laki (Androsentrisme-Phallosentrisme) sebagai subyek yang berkesadaran, dan hal ini mempengaruhi artefak-artefaknya yang telah kita kenal sampai sekarang. Secara psikologis, amat sangat mempengaruhi pada tiap-tiap bentuk perilaku yang dihasilkannya, secara jujur bila terdapat kelemahan yang sifatnya memojokkan ‘malestream’, walaupun itu memang mungkin, seringkali ada upaya dekonstruksi.  Obyek sebagai hasil budaya, mengingat kondisi subyek seperti itu, tentu, pada akhirnya berkecenderungan bersifat maskulin.
            Sebelumnya, jangan salah menafsirkan pernyataan diatas, penalaran yang dimaksud diatas adalah bentuk-bentuk fakultas logos yang sangat dipengaruhi oleh kondisi memori otak, dimana memori dipenuhi oleh informasi dan kualitas ilmu pengetahuan saat itu pula.  Skala pikir yang dihasilkan adalah khas spesifik jamannya.  Sedangkan karya seni budaya luhur, lebih kompleks daripada hanya sekedar penalaran biasa.  Karena untuk menjadi seorang Panday yang ideal, hasil perilaku yang diwujudkan pada benda karya ciptanya, sangat membutuhkan kemampuan olah indra yang peka, olah pikir yang prima, serta olah rasa yang tajam, ketiganya berpadu pada titik resultante tertentu sesuai kodrat sang Panday. Pola-pola tersebut merupakan manifestasi berkesadaran, inilah yang diusung tiap religi maupun paham keagamaan sesuai  dengan ciri khasnya masing-masing. Itulah skala ideal, yang pada prakteknya ternyata bervariatif dan itupun manusiawi. Sehingga, pengamatan yang sifatnya pada salah satu sisi ideal sebagai parameter, akan didapatkan beberapa tanda-tanda biasnya.
             Dalam bukunya yang berjudul Strategi Kebudayaan (1976), C.A.van Peursen menyebutkan bahwa yang ikut mempengaruhi  terbentuknya benda budaya adalah adanya faktor magi dan religi.  Faktor religi, menempatkan obyek sebagai wujud hasil dimana subyek tunduk atas adanya kuasa Causa Prima, maka penamaan serta penyebutan benda tersebut bersifat lembut, indah, menawan, dan santun. Meminjam istilah yang dipakai oleh Mircea Eliade (2002) didalam karyanya yang berjudul Sakral dan Profan, manifestasi Causa Prima yang seperti itu adalah gambaran yang fascinatum (menawan,memikat).   Kemudian, faktor magi, menempatkan obyek sebagai wujud hasil dimana subyek harus mampu menguasai dan waspada pada keadaan yang perlu, maka banyak istilah yang berkesan galak, menakutkan, tegas, dan ini  merupakan gambaran manifestasi Causa Prima yang tremendum (menakutkan) .  Faktor religi serta magi, hampir selalu ada pada artefak-artefak peninggalan budaya masa lalu, namun dengan skala perbandingan yang berbeda-beda.

            Seorang Panday dalam mewujudkan karyanya biasanya diawali dengan niat yang bersifat antara lain : 
A. Sakral Murni
            Maksudnya adalah dalam mewujudkan karyanya seorang Panday amat sangat ketat menjaga kualitas tujuan sejak niat sampai menyerahkan hasil karyanya. Ketat disini artinya semua kaidah keyakinannya dijalani, dari sesaji, berpantang sesuatu sampai mengucapkan mantra ataupun doa-doa. Inti dari Sakral Murni ini adanya tujuh kaidah doa, yaitu:
            1. Doa selamatan sebelum bekerja (sebagai niat awal)
            2. Doa pada penempaan I
            3.  Doa selama proses penempaan
            4.  Doa ‘pengisian’
            5.  Doa penyepuhan
            6.  Doa finishing
            7.  Doa selamatan dan syukuran selesai kerja
           
            Tujuh kaidah doa ini merupakan satu kesatuan rangkaian tujuan, artinya dari doa 1 s/d 7 harus benar-benar satu cipta yang kongruen dengan tujuan awal.  Apabila dicermati lebih mendalam, dalam bagian tiap doa diatas dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Bagian penghormatan pada Causa Prima
2.      Bagian pengutaraan maksud
3.      Bagian harapan  
           
             Bagi  Panday yang faham akan filosofi ini, tentunya tidak akan pernah meninggalkan makna tujuh kaidah tersebut, hakekatnya adalah terwujudnya tujuan dari segala aspeknya, dengan mengurangi sesedikit mungkin kesalahan.  Keadaan seperti ini dituntut suasana yang wajib tenang, serius, penuh hormat dan konsentrasi, sehat jasmani rohani, seimbang dan terkontrol hawa nafsunya, serta berkesadaran yang prima.  Makna sesungguhnya adalah mohon ijin pada Causa Prima agar dikabulkan pembuatan karyanya yang sesuai dengan tujuannya.  Tujuan dalam pembuatan karyanya, menurut Basuki Teguh Yuwono (2008), dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
            1.  Spiritual, maksudnya adalah bertujuan menuju kesempurnaan serta kesucian          hidup yang hakiki
            2.  Duniawi, maksudnya adalah bertujuan mendukung/memperkuat kebutuhan hidup di dunia
            Dalam kenyataannya, manusia sebagai makhluk sosial adalah wajib bermasyarakat, konsekuensinya adalah adanya keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan duniawi.  Kenyataan seperti ini amat sangat dipahami oleh seorang Panday, maka dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seorang Panday (lebih-lebih yang senior), harus menunjukkan seorang teladan di masyarakat atas kesucian serta paham kebenaran hakiki dirinya, baik pikiran, perasaan maupun perilakunya.

Bukti adanya sakralitas adalah:
  1. Dimensi Ruang, seorang panday dalam tahap yang paling awal adalah membuat dapur kerja, yaitu disebut paneupaan / gosali / besalen, menurut pemahamannya lokasi membawa sifat yang berbeda-beda, misalkan sebelah barat gunung / bukit akan berbeda dengan sebelah timurnya. Daerah dataran pun berbeda lagi, sebegitu juga lokasi sungai ada diatas atau dibawah dapur kerjanya pun berbeda sifat. Ternyata dimensi ruang amat sangat bermakna dan berbeda-beda pada tiap lokasi.
  2. Dimensi waktu, seorang Panday harus mampu mengetahui mana hari yang baik dan tidak sesuai dengan tujuannya. Hitungan bahkan dimulai dari windu, tahun, bulan,wuku, pasaran, paringkelan dll, dimana semua itu beredar sesuai siklus ulangannya. Dimensi waktu bagi Panday bersifat dinamis dan berulang.

B. Antara Sakral-Profan
            Pada prakteknya, kondisi yang seperti ini  justru paling sering terjadi. Sebagai contoh, didalam menerapkan 7 kaidah doa kepandayan seringkali tidak utuh lagi, yaitu mengurangi doa pengisian atau doa penyepuhan dll, entah sengaja maupun memang tidak tahu.  Bahkan, kadang yang diucapkan hanyalah doa selamatan sebelum bekerja, dan itupun kadang tidak utuh lagi materi doa  bagian per bagiannya, misalnya hanya berisi bagian penghormatan kepada Causa Prima atau bagian harapan saja.

C. Profan Murni
            Pada kondisi ini, seorang Panday hanya mengejar keuntungan sisi waktu  dari / dan sudut pandang ekonomis, alias murni materi belaka.  Semua kaidah kaidah doa sudah tidak dipakai lagi, masih untung yang tahu doa-doa tersebut walau tidak dijalani, karena kebanyakan justru tidak tahu lagi tentang doa-doa tersebut. Sebenarnya, penamaan Panday bila ditinjau sejarahnya adalah penuh sakralitas, perubahan jaman ternyata memunculkan istilah Panday yang melulu profan.
           
            Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diterangkan perihal panday, yang diuraikan secara kronologis dengan dasar urutan masuknya kepercayaan serta paham agama yang dianut masyarakat Pasundan, dengan catatan bahwa batasan ruang Pasundan tempo dulu tidak seperti sekarang ini

  1. Panday Sunda Zaman Prasejarah
            Menurut Ratnaesih Maulana (2002) dalam makalah ilmiahnya, disebutkan bahwa kemampuan mengolah logam mulai muncul pada jaman Prasejarah,khususnya pada Masa Perundagian, dimana bahan logam yang dibuat pada masa ini umumnya terbuat dari perunggu.  Sedangkan benda yang dihasilkannya, misalkan arca, memperlihatkan hiasan yang lebih dekoratif dan lebih dinamis apabila dibandingkan dengan gaya arca produk jaman Megalitikum.  Kemampuan mengolah logam ternyata memang sudah ada pada jaman prasejarah, orang yang mampu mengolah bahan perunggu masa itu  entah disebut apa waktu itu , tetapi jelas sudah ada. Mungkin dengan banyak spekulasi, istilah ‘Guru Teupa’ lebih tepat rasa-rasanya untuk waktu itu di wilayah Pasundan, entah apa di daerah lain waktu itu.
             Pernyataan diatas memperkuat tulisan J.L.A Brandes (1887) yang menyebutkan bahwa penduduk asia tenggara termasuk yang mendiami kepulauan nusantara telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu mengenal pengecoran logam , mampu membuat figure-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, mengenal instrument musik, mengenal berbagai ragam hias, mengenal system ekonomi barter, memahami astronomi, mahir dalam navigasi, mengenal tradisi lisan, mengenal system irigasi untuk pertanian, dan adanya penataan masyarakat yang teratur.  Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India maupun China..
      Kepercayaan prasejarah waktu itu, menurut Jacob Sumardjo (2002) di dalam     bukunya, masyarakatnya masih menganut konsep dualisme keberadaan, yaitu langit sebagai Dunia Atas yang bersifat absolut dan tidak dikenal , dan bumi sebagai Dunia Bawah yang bersifat dibutuhkan dan dikenal manusia. Dunia manusia berasal dari Dunia Atas,  jadi ada kesatuan dualistik antara manusia dengan Dunia Atas. Pola hubungan kesatuan tersebut antara lain dengan perkawinan, perkawinan Dunia Atas dengan Dunia Bawah, akan melahirkan berbagai ciptaan yang berguna bagi manusia. Pasangan ini bersifat kosmis, karena pola hubungan ini berupa perkawinan, maka kesempurnaan hidup, keselamatan hidup, kesejahteraan hidup hanya dapat terjadi apabila ada perkawinan ini.  Untuk itu diperlukan Dunia Tengah, dunia perantara untuk perkawinan dua pasangan kontras tadi, disebut Axis Mundi, berupa gunung, pohon, bersifat transenden, semua upacara dan kegiatan harus secara Dunia Tengah ini, penuh kegaiban penuh mantra. Kesatuan dunia dunia tersebut merupakan kesetuan Ruang dan Waktu, semua hanya satu, hanya ada satu Ruang dan satu Waktu. Mungkin lebih tepatnya semua adalah satu kesatuan tunggal yaitu Sang Tunggal. Sang Tunggal merepresentasikan dirinya dalam ruang dan waktu.
            Konsep perkawinan kosmis diatas, bila dihubungkan dengan tulisan Basuki Teguh Yuwono (2008) tampaknya ada korelasinya, yaitu proses pembuatan pusaka merupakan suatu ‘Tapa Laku’ suci yang rumit, penuh kehatihatian, penuh doa mantra, oleh karena memadukan dua keadaan yaitu Guru Dadi (sesuatu yang berasal dari langit) dan Guru Bakal (sesuatu bahan dari bumi), agar menghasilkan perpaduan yang baik dan sempurna.
            Guru Teupa merupakan tokoh kunci sekaligus spiritual-religius yang sangat dihormati dan mulia di mata masyarakat ,untuk ukuran masa itu menurut Mamat Sasmita (2009), dikatakan bahwa tidak ada hasil kemahiran yang lebih baik dalam menggambarkan gaya hidup suatu bangsa selain kemampuan mengolah logam menjadi peralatan yang berguna untuk kehidupan sehari-hari.  Guru Teupa dalam melakukan upacara ritualnya yang suci dan penuh kegaiban, menyendiri di dalam Paneupaan (dapur pengolah logam/tempat penempaan)  jauh dari hiruk pikuk masyarakat merupakan Dunia Tengah yang mengkawinkan Guru Jadi (dalam bahasa Sunda Kuno) dengan Guru Bakal.  Guru Teupa mentransformasikan peralatan yang sebelumnya terbuat dari batu maupun kayu menjadi berbahan logam, teknologi tempa maupun peleburan serta pencetakannya masih sederhana.  Untuk mewujudkan sebuah pusaka yang berbentuk senjata, Guru Teupa mencampur bahan bahan yang berasal dari bumi (Guru Bakal) yaitu besi atau timah hitam dipadukan dengan bahan bahan yang diyakini sebagai dari langit, bahan tersebut harus berbeda dan terang, oleh karena sumber terang berasal dari langit (Guru Jadi) yaitu antara lain timah putih, meteorit, kadang kala untuk meningkatkan nilai sakralitasnya diimbuhi dengan sedikit emas (Dunia Tengah), dalam beberapa artefak lebih kurang berkadar 0,0005% - 0,001%.

  1. Panday Sunda Zaman Hindu-Budha
Sesuai makalah Agus Aris Munandar (2005), setelah penduduk nusantara berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia.  Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya yaitu huruf Pallava, Agama Hindu-Budha, dan kalendar tahun Saka.  Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuno yang pada akhirnya pencapaian tersebut diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indinesia sendiri. Dengan dikenalnya huruf Pallava, atau sering disebut dengan huruf Pascapallava, nenek moyang bangsa Indonesia mampu mendokumentasikan pengalaman dalam hidupnya. Terbitnya prasasti-prasasti dari kerajaan kuno, penggubahan karya sastra dengan berbagai judul, serta dokumentasi tertulis lainnya adalah berkat dikenalnya huruf Pallava ini. Bahkan di masa kemudian huruf Pallava itu kemudian dinasionalisasikan oleh berbagai etnis di Indonesia, maka munculah antara lain aksara-aksara: Sunda Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno, Bugis Kuno, Batak Kuno dan Lampung Kuno.
            Sebagaimana diketahui pengaruh agama Hindu Budha masuk ke daerah Pasundan lebih kurang pada abad ke 4-5 Masehi, dengan bukti bukti prasasti yang mengarah adanya kerajaan bercorak adanya pengaruh kebudayaan India yaitu Tarumanagara yang salah satu rajanya bernama Purnavarmman. Prasasti yang berangka tahun pertama dijumpai di wilayah Jawa Tengah, yaitu prasasti Canggal berhurf Pallava dan berbahasa Sanskerta yang berangka tahun 652 Saka atau 730 M.  Untuk wilayah Pasundan, prasasti yang berangka tahun yang diketemukan baru prasasti Batutulis-Bogor berangka tahun 1455 Saka atau 1543 M, itupun sudah memakai aksara dan bahasa Sunda Kuno. Akan tetapi pada prasasti Tugu (berhuruf Pallava dan berbahasa Sanskerta) yang diketemukan di kecamatan Cilincing wilayah Jakarta Utara sudah menyebutkan nama bulan yaitu Phalguna dan Caitra, nama bulan pada bangsa India serta menyebutkan nama sungai di India yaitu Candrabhaga dan Gomati.
             Dengan masuknya paham agama, tentunya disertai dengan ikut masuknya pula pengetahuan serta budaya bangsa yang membawa agama tersebut masuk. Pengetahuan tersebut meliputi bahasa, sastra serta teknologi dan lain lain.  Hal yang pasti adalah berkat adanya pengaruh agama Hindu-Budha tersebut penduduk Pasundan kemudian memasuki periode sejarah.  Guru Teupa mau tidak mau beradaptasi dengan paham dan kekuatan yang baru apabila ingin tetap survive.  Pada kenyataannya paham yang dianut Guru Teupa mirip / bisa berpadu dengan salah satu sekta (dari sekian banyak sekta) di agama Hindu. Hal ini sesuai yang tertulis dalam Kitab Suci Weda Aranyaka Upanisad, tentang perkembangan Weda dimana melahirkan banyak tokoh Brahmana, dengan banyak sekta, sedangkan penganut sekta tersebut disebut Wangsa.
            Menurut Rsi  Bintang Dhanu M (1998), disebutkan bahwa sumber yang berkaitan dengan masalah ini adalah berasal dari sekta Brahma, sekta ini merupakan salah satu sekta yang besar dan penting untuk waktu itu. Pada waktu itu pengikutnya disebut Wangsa Brahmana Panday. Wangsa Brahmana Panday ini dalam kedudukannya di Kerajaan menempati posisi yang penting, jabatan yang diembannya diberi gelar Mpu. Jadi menurut kronologisnya, kata Mpu pada awalnya menunjukkan pangkat / jabatan yang penting. Tidak semua Wangsa Brahmana Panday mendapat gelar Mpu, karena gelar tersebut merupakan tanda pangkat dari kerajaan, akan tetapi keluarga Mpu dan saudaranya seketurunan tetap sebagai Wangsa Brahmana Panday, kecuali yang berkianat. Istilah Guru Teupa kemungkinan besar pada masa Hindu ini mulai diganti dengan julukan Panday, termasuk Paneupaan mulai diganti dengan istilah Gosali.
Menurut tulisan RM.Sajid (1980), jabatan Mpu di kerajaan di bagi 3 kelompok, yaitu:
  1. Mpu Panday, bertanggungjawab dalam bidang senjata,serta perhiasan dari logam
  2. Mpu Jangga, bertanggung jawab dalam bidang sastra dan administrasi tulis menulis  serta pengarsipannya.
  3. Mpu Gangsa, bertanggung jawab dalam bidang kesenian karawitan serta pembuatan peralatannya.
      Selanjutnya, pada waktu itu, menurut Basuki Teguh Yuwono (2008) seorang Panday selain bidangnya dalam pembuatan senjata dan pusaka harus menguasai beberapa bidang yang berfungsi mendukung keahliannya, yaitu
  1. Menguasai dalam bidang agama
  2. Menguasai dalam bidang olah senjata
  3. Menguasai dalam bidang psikologis
  4.  Menguasai dalam bidang anatomi tubuh
  5. Menguasai dalam bidang politik dan tata Negara
  6. Menguasai dalam bidang sastra
  7. Menguasai dalam bidang artistik dan seni

Dalam bukunya Rsi Bintang Dhanu M (1998) kata  Panday ( Pande= Jawa dan Bali, Pandeya=Jawa Kawi Kuno ) berasal dari akronim dalam bahasa Sanskerta, kata tersebut berasal dari ‘Paandie’, kata ini tersusun atas :

PA………………….= yang berarti paha atau pupu
AN…………………= yang berarti tangan
DIE…………………= yang berarti jeriji atau jari

Jadi kata Panday mempunyai gambaran tahan panasnya api dimana bahwa pahanya sekeras Paron / landesan, tangannya berfungsi sebagai palu / martil sedangkan jarinya sebagai penjepit bilahnya. Kata akronim tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari ilmu dasar rahasianya tentang Cakra, rahasia karena hanya boleh diajarkan oleh sesama penganut sekta Brahma saja. Ajaran tersebut adalah ilmu andalan wangsa ini yang tidak dimiliki oleh sekta yang lain, mereka menyebutnya ‘Aji Panday Wesi’ atau ‘Aji Wesi’, dari sekian banyak bab ‘Aji Wesi’ yang paling pokok adalah bab ‘Aji Panca Bayu’ atau ‘Tatwa Aji Wesi’. Tatwa ini di Pulau Bali masih ada dan lestari sampai kini, Tatwa Weda Urip Wesi ini terdapat dalam Prasasti Dharma Kapandayan (naskah lontar 15.11/prp pada kropak no.5138), yang bunyinya (bahasa kawi) antara lain:

“……………………IKI AKSARA KASADUR SIRA PANDE TATAS RING TUTUR LAWAN WARIGA MANGKANA KADI LING SASTRA IKU DHARMA WISESAN NGARAN…………………………”(yang artinya= ini sastra wangsa panday ringkasnya harus tahu tentang filsafat hidup, dan wariga perhitungan hari, wuku, bulan, dan tahun bumi, seperti yang tertulis di dalam ajaran Dharma Wisesa).

Demikianlah pada jaman Hindu Budha, seorang Panday sangat diikat oleh Prasasti maupun Pustaka lontar pegangannya, sumpah jabatan pada leluhur maupun rajanya, dan kewajiban moril wangsanya.  Oleh karena Panday jaman Hindu-Budha ini merupakan suatu bagian wangsa dari sekta Brahma, tentunya sesuai paham / aliran-aliran sekta waktu itu, tentunya memiliki hal-hal yang dirahasiakan maupun yang tidak dirahasiakan.  Kenapa bisa terjadi seperti ini? Jawabnya sangat manusiawi, antar sekta ada semacam adu valid. Hal yang dirahasiakan, hanya boleh diketahui oleh sesama wangsanya, itupun bertingkat-tingkat sesuai kualitasnya.  Sebagai contoh, doa-doa Panday dalam acara selamatan sebelum berkarya maupun memulai karya, doa ini masuk kategori ‘rahasianya rahasia’, dan ada lagi masuk kategori ‘puncaknya rahasia’, sebagai misal, yaitu pada bagian ‘mengisi’ karyanya dengan suatu keinginan, contoh ini tidak semua wangsa Panday bisa / boleh tahu, mengapa? Karena pada sisi ini tergantung penguasaan ilmu maupun tingkat kesempurnaan / kesucian wangsa Panday.
Bagian yang rahasia tersebut adalah bagian yang tidak tercatat dalam sejarah, ini realita, bahkan sampai pada detik inipun masih ada beberapa Panday yang mengatakan bahwa ada bagian yang dirahasiakan dan apabila dikejar dengan pertanyaan mengapa, jawabnya selalu karena perintah leluhur, pastinya adalah tidak tahu.  Pada kenyataannya, hal yang dirahasiakan tersebut seringkali disampaikan secara ‘face to face’ , bahkan ada yang harus dihafal dan tidak boleh diwujudkan dalam bentuk tulisan apapun juga.
 Pengaruh filosofi Lingga-Yoni dalam agama Hindu sangat besar pengaruhnya dalam konsep pembuatan pusaka pada masa ini.  Konsep Lingga-Yoni merupakan suatu konsep yang mirip dengan konsep keseimbangan kosmis jaman Prasejarah, menurut GM.Nurjana (2009) konsep tersebut berarti menjaga keseimbangan ciptaan-Nya, dimana Lingga berarti simbol Brahman, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dengan aksara ‘AUM’ yang senantiasa bergema menciptakan Pertiwi atau Yoni, alam semesta maupun langit dengan segala isinya. Oleh P.J.Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuno, Lingga dapat berarti phallus, arca dewa, titik poros atau sumbu, sedangkan Yoni dapat berarti garbha, rahim, tempat lahir .
Dengan demikian, dapat diduga pada masa ini Panday berada dalam masa keemasannya, semua keadaan mendukung pemahaman sebelumnya, kerajaan dan masyarakat menempatkan Panday pada posisi luhur dan terhormat. Wangsa Panday secara politis benar-benar menduduki posisi yang sangat strategis, ini merupakan waktu yang paling tepat untuk berkembang, terbukti bahwa artefak artefak peninggalannya pada masa ini amat beragam dan banyak.
 Sebagai contoh dalam kaitannya Panday dengan paham Lingga Yoni di agama Hindu adalah adanya relief yang secara jelas tervisualisasi pada Candi Sukuh di Karanganyar Solo-Jawa Tengah, candi ini didirikan antara tahun 1437-1496 M.  Pada relief tersebut amat jelas merupakan gambaran sebuah Gosali, dimana di dalamnya memperlihatkan Wangsa Panday sedang bekerja mengerjakan sebuah bilah senjata.  Tampak seorang laki-laki sedang menempa senjata disamping Paronnya dengan tangan kanan memegang martil sedangkan tangan kirinya memegang bilah senjata.  Pada sudut lain, seberang tidak jauh, tampak seorang wanita membantu sang Panday dengan memegang alat yang disebut Ububan / Puputan. Dalam kaitannya konsep Lingga-Yoni, sang Panday menempa dan sang wanita memberi hawa, dari pekerjaan ini lahirlah sesuatu yang mereka inginkan yaitu senjata. Keadaan ini mirip dengan sepasang insan yang menginginkan anak, bukan aktivitasnya tapi maknanya.


  1. Panday Sunda Jaman Agama Islam
Paham agama Islam sangat lain dengan agama Hindu, di dalam agama Islam pada prakteknya harus selalu ditujukan pada keTauhidan, lagipula didalam agama Islam dilarang menggambar mahluk hidup yang mirip dengan realita sesungguhnya, sehingga dalam mewujudkannya terjadi transfigurasi bentuk / struktur.  Paham Panday masa Hindu amat berlainan dengan masa ini, sehingga banyak kaum Panday melakukan migrasi apabila tidak mau berpindah agama. Sebagai catatan, wangsa Panday merupakan termasuk kelompok solid yang amat sangat berpegang teguh pada ajarannya, dengan adanya perubahan kekuatan politis yang disertai perubahan ideology, maka mau tidak mau mereka melawan, pergi atau pindah agama. Pilihan kebanyakan melakukan migrasi, sangat mungkin Panday Domas (jikalau memang ada) migrasi pada era perubahan ini, secara logis, keadaan yang mampu memaksa migrasi besar-besaran adalah perubahan pemerintahan yang disertai perubahan ideology yang amat berbeda jauh.



Singkat sih , tapi semoga bermanfaat ;)