(Suatu penelusuran filosofis penamaan
dan definisi)
oleh: dr.R.Wisnu Kusumawardana
Rupa-rupanya para
Leluhur pendiri Tatar Sunda betul betul sangat paham psikologi rakyatnya, terbukti
banyak produk budaya yang sampai masa sekarang masih ada dan lestari. Produk
produk budaya tersebut diwujudkan dalam dua bentuk, wujud pertama adalah produk
yang tidak tertulis / bukan materi yaitu kesenian tradisional, carita tutur
pantun, tata aturan sosial serta hukum-hukum adatnya, sedangkan wujud yang
kedua adalah produk yang berwujud materi yaitu berupa artefak menhir-dolmen
,teras berundak, candi, naskah kuno, kujang, bedog, baju adat, bangunan kuno
dan lain-lain masih banyak lagi. Produk produk budaya tersebut sangat khas dan
indah, dikatakan sangat khas karena berbeda dengan daerah lain dan dikatakan
indah secara estetik maupun filosofis karena sejak awal diciptakan penuh dengan
kaidah kaidah yang secara dimensi formal ada ‘benang merah’ dengan tata aturan
sosialnya.
Pada tulisan
ini, menitikberatkan upaya tentang penelusuran filosofis penamaan sekaligus
definisi Kujang, selain menarik dan khas Pasundan (menjadi ikon/lambang
pemerintah daerah Jawa Barat), tulisan serta penelitian tentangnya pun masih
sedikit. Hal ini cukup beralasan, karena memang sumber primer yang ada ‘sangat
sedikit’, atau belum banyak diketemukan, atau bahkan banyak yang tidak
berminat. Kenyataan seperti diatas, yaitu aspek ke-khas-an Kujang menjadikannya
obyek kajian yang panjang, dengan alas an sebagai berikut:
1.
Bahwa penamaan Kujang itu sendiri merupakan suatu
tantangan tersendiri untuk dikaji. Dari manakah asal nama Kujang?
2.
Bahwa artefak Kujang tentunya tidak pernah lepas dari
induk kebudayaannya. Apakah benar Kujang berasal dari wilayah Pasundan? Buktinya
apa?
3.
Kebudayaan,termasuk artefaknya,tentunya berubah tiap
tiap zaman, sehingga Kujang sebagai hasil produk kebudayaan tentunya juga
mengalami proses perubahan, baik bentuk maupun maknanya, sesuai tuntutan zaman.
Seperti apakah bentuk awal Kujang itu?
4.
Kebudayaan adalah wujud dari proses berkesadaran yang
secara konstruktif dan akumulatif membangun manusianya. Konsep terwujudnya
Kujang pada setiap Panday atau Guru Teupa
apakah sama pada kurun waktu yang sama maupun yang beda?
5.
Dalam kaitannya dimensi ruang, andaikan terjadi ada migrasi masyarakat Pasundan ke suatu negara lain yang kemudian disana membuat Kujang dengan
segala jenis variasinya, bagaimana bila terjadi negeri baru yang mereka diami
mengklaim bahwa Kujang adalah asli berasal dari negeri mereka? (ingat kasus
Reog Ponorogo).
Sebenarnya, masalah
pokok yang muncul pada aspek kekhasannya adalah sedikitnya data primer yang
mendukung ke-autentik-an nya dan lagipula artefak yang ada, asal usulnya banyak
yang tidak jelas. Selain daripada
masalah itu, Kujang rupanya pada zaman ini rupanya ‘sudah populer’ menjadi ikon Jawa Barat dan bahkan
menjadi simbol resmi Pemda Prop.Jabar. Adanya kesenjangan antara teori yang mendukung
keabsahan orisinalitasnya dengan praktek penggunaan di lapangan seperti simbol
simbol serta lambang, hal ini menjadikan Kujang untuk ‘segera secepatnya’
dikaji, diteliti, dikonservasi dan dicari sumber primer yang ‘sah’ dan
‘meyakinkan’, yang secepatnya pula agar diakui secara Internasional dengan
disahkan oleh UNESCO, bahwa Kujang benar benar milik masyarakat Pasundan / Indonesia.
Untuk analisis
obyektif data tentang Kujang ini, bukanlah hal yang mudah, mengingat minimnya
data dan sedikitnya artefak yang jelas asal usulnya, selain itu pula, menggali
pengertian obyektif masa lalu sesuai dengan masanya juga merupakan suatu upaya
mirip ‘peneropongan’ atau menembus dimensi waktu. Akan tetapi tetap diupayakan
se ‘logis’ mungkin, dengan melihat fakta fakta tentangnya yaitu antara lain :
artefak kujang, pemuatan dalam naskah kuno, situs peninggalan kuno, berita
pantun serta beberapa makalah. Dengan hadirnya fakta fakta tersebut, muncul
beberapa pertanyaan yaitu :
1.
Apa arti dari fakta yang kita lihat itu? Dan mengapa
keadaannya demikian?
2.
Apa yang terjadi disana? Apakah ada hubungan tertentu
antara yang dilihat itu?
3.
Apakah sebabnya terjadi fakta fakta tersebut?
Pertanyaan pertanyaan yang muncul
diatas adalah yang akan dibahas sesuai dengan relevansi judulnya. Kujang
terwujud akibat diwujudkan oleh Panday, dan diperindah tampilannya dengan
hadirnya sarung / sarangka hasil
garapan maranggi. Tiga hal yaitu
panday,maranggi dan kujang adalah satu kesatuan, maka panday serta
maranggi akan dibahas pada awal tulisan
ini walaupun singkat.
PENGETAHUAN
TENTANG PANDAY
Pada jaman sekarang, orang mengenal
kata kata Panday identik dengan panday besi maupun panday perhiasan / mas,
demikian pula pengertian tentangnya pun dianggap sebagai orang yang hidup
berprofesi dengan memanfaatkan bahan baku logam sebagai bahan utama untuk menciptakan
suatu barang logam untuk membantu keperluan hidup, seperti cangkul, sabit,
kapak, linggis dan lain lain. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa dalam
hampir semua catatan sejarah menunjukkan
seorang Panday adalah sangat didominasi oleh laki-laki (walaupun ada segelintir
yang perempuan), selain memang pekerjaan ini memerlukan otot kuat jasmaniah
tampaknya didukung pula secara rohaniah oleh budaya yang sifatnya masih
Patriarkal. Dengan pendekatan
kritis-refleksif, keadaan / realita seperti ini membawa konsekuensi bahwa hasil
karya Panday sebagai representasi, meminjam istilah Syarifah (2006), merupakan
salah satu bentuk dari hasil penalaran yang berorientasi pada kepentingan
laki-laki (Androsentrisme-Phallosentrisme)
sebagai subyek yang berkesadaran, dan hal ini mempengaruhi artefak-artefaknya
yang telah kita kenal sampai sekarang. Secara psikologis, amat sangat
mempengaruhi pada tiap-tiap bentuk perilaku yang dihasilkannya, secara jujur
bila terdapat kelemahan yang sifatnya memojokkan ‘malestream’, walaupun itu memang mungkin, seringkali ada upaya
dekonstruksi. Obyek sebagai hasil
budaya, mengingat kondisi subyek seperti itu, tentu, pada akhirnya
berkecenderungan bersifat maskulin.
Sebelumnya, jangan salah menafsirkan
pernyataan diatas, penalaran yang dimaksud diatas adalah bentuk-bentuk fakultas
logos yang sangat dipengaruhi oleh kondisi memori otak, dimana memori dipenuhi
oleh informasi dan kualitas ilmu pengetahuan saat itu pula. Skala pikir yang dihasilkan adalah khas
spesifik jamannya. Sedangkan karya seni
budaya luhur, lebih kompleks daripada hanya sekedar penalaran biasa. Karena untuk menjadi seorang Panday yang
ideal, hasil perilaku yang diwujudkan pada benda karya ciptanya, sangat
membutuhkan kemampuan olah indra yang peka, olah pikir yang prima, serta olah
rasa yang tajam, ketiganya berpadu pada titik resultante tertentu sesuai kodrat
sang Panday. Pola-pola tersebut merupakan manifestasi berkesadaran, inilah yang
diusung tiap religi maupun paham keagamaan sesuai dengan ciri khasnya masing-masing. Itulah
skala ideal, yang pada prakteknya ternyata bervariatif dan itupun manusiawi.
Sehingga, pengamatan yang sifatnya pada salah satu sisi ideal sebagai
parameter, akan didapatkan beberapa tanda-tanda biasnya.
Dalam bukunya yang berjudul Strategi
Kebudayaan (1976), C.A.van Peursen menyebutkan bahwa yang ikut
mempengaruhi terbentuknya benda budaya
adalah adanya faktor magi dan religi.
Faktor religi, menempatkan obyek sebagai wujud hasil dimana subyek
tunduk atas adanya kuasa Causa Prima,
maka penamaan serta penyebutan benda tersebut bersifat lembut, indah, menawan,
dan santun. Meminjam istilah yang dipakai oleh Mircea Eliade (2002) didalam
karyanya yang berjudul Sakral dan Profan, manifestasi Causa Prima yang seperti itu adalah gambaran yang fascinatum (menawan,memikat). Kemudian,
faktor magi, menempatkan obyek sebagai wujud hasil dimana subyek harus mampu
menguasai dan waspada pada keadaan yang perlu, maka banyak istilah yang
berkesan galak, menakutkan, tegas, dan ini
merupakan gambaran manifestasi Causa
Prima yang tremendum (menakutkan)
. Faktor religi serta magi, hampir
selalu ada pada artefak-artefak peninggalan budaya masa lalu, namun dengan
skala perbandingan yang berbeda-beda.
Seorang Panday dalam mewujudkan
karyanya biasanya diawali dengan niat yang bersifat antara lain :
A. Sakral Murni
Maksudnya adalah dalam mewujudkan
karyanya seorang Panday amat sangat ketat menjaga kualitas tujuan sejak niat
sampai menyerahkan hasil karyanya. Ketat disini artinya semua kaidah
keyakinannya dijalani, dari sesaji, berpantang sesuatu sampai mengucapkan
mantra ataupun doa-doa. Inti dari Sakral Murni ini adanya tujuh kaidah doa,
yaitu:
1. Doa selamatan sebelum bekerja
(sebagai niat awal)
2. Doa pada penempaan I
3. Doa selama proses penempaan
4. Doa ‘pengisian’
5.
Doa penyepuhan
6.
Doa finishing
7.
Doa selamatan dan syukuran selesai kerja
Tujuh kaidah doa ini merupakan satu
kesatuan rangkaian tujuan, artinya dari doa 1 s/d 7 harus benar-benar satu
cipta yang kongruen dengan tujuan awal.
Apabila dicermati lebih mendalam, dalam bagian tiap doa diatas dibagi
lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Bagian penghormatan pada Causa Prima
2.
Bagian pengutaraan maksud
3.
Bagian harapan
Bagi
Panday yang faham akan filosofi ini, tentunya tidak akan pernah
meninggalkan makna tujuh kaidah tersebut, hakekatnya adalah terwujudnya tujuan
dari segala aspeknya, dengan mengurangi sesedikit mungkin kesalahan. Keadaan seperti ini dituntut suasana yang
wajib tenang, serius, penuh hormat dan konsentrasi, sehat jasmani rohani,
seimbang dan terkontrol hawa nafsunya, serta berkesadaran yang prima. Makna sesungguhnya adalah mohon ijin pada
Causa Prima agar dikabulkan pembuatan karyanya yang sesuai dengan
tujuannya. Tujuan dalam pembuatan
karyanya, menurut Basuki Teguh Yuwono (2008), dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.
Spiritual, maksudnya adalah bertujuan menuju kesempurnaan serta kesucian
hidup yang hakiki
2.
Duniawi, maksudnya adalah bertujuan mendukung/memperkuat kebutuhan hidup
di dunia
Dalam kenyataannya, manusia sebagai
makhluk sosial adalah wajib bermasyarakat, konsekuensinya adalah adanya
keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan duniawi. Kenyataan seperti ini amat sangat dipahami
oleh seorang Panday, maka dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seorang
Panday (lebih-lebih yang senior), harus menunjukkan seorang teladan di
masyarakat atas kesucian serta paham kebenaran hakiki dirinya, baik pikiran,
perasaan maupun perilakunya.
Bukti adanya
sakralitas adalah:
- Dimensi Ruang, seorang panday dalam tahap yang
paling awal adalah membuat dapur kerja, yaitu disebut paneupaan / gosali /
besalen, menurut pemahamannya lokasi membawa sifat yang berbeda-beda,
misalkan sebelah barat gunung / bukit akan berbeda dengan sebelah timurnya.
Daerah dataran pun berbeda lagi, sebegitu juga lokasi sungai ada diatas
atau dibawah dapur kerjanya pun berbeda sifat. Ternyata dimensi ruang amat
sangat bermakna dan berbeda-beda pada tiap lokasi.
- Dimensi waktu, seorang Panday harus mampu
mengetahui mana hari yang baik dan tidak sesuai dengan tujuannya. Hitungan
bahkan dimulai dari windu, tahun, bulan,wuku, pasaran, paringkelan dll,
dimana semua itu beredar sesuai siklus ulangannya. Dimensi waktu bagi
Panday bersifat dinamis dan berulang.
B. Antara Sakral-Profan
Pada prakteknya, kondisi yang
seperti ini justru paling sering
terjadi. Sebagai contoh, didalam menerapkan 7 kaidah doa kepandayan seringkali
tidak utuh lagi, yaitu mengurangi doa pengisian atau doa penyepuhan dll, entah
sengaja maupun memang tidak tahu. Bahkan,
kadang yang diucapkan hanyalah doa selamatan sebelum bekerja, dan itupun kadang
tidak utuh lagi materi doa bagian per bagiannya,
misalnya hanya berisi bagian penghormatan kepada Causa Prima atau bagian
harapan saja.
C. Profan Murni
Pada kondisi ini, seorang Panday
hanya mengejar keuntungan sisi waktu
dari / dan sudut pandang ekonomis, alias murni materi belaka. Semua kaidah kaidah doa sudah tidak dipakai
lagi, masih untung yang tahu doa-doa tersebut walau tidak dijalani, karena
kebanyakan justru tidak tahu lagi tentang doa-doa tersebut. Sebenarnya,
penamaan Panday bila ditinjau sejarahnya adalah penuh sakralitas, perubahan
jaman ternyata memunculkan istilah Panday yang melulu profan.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini
akan diterangkan perihal panday, yang diuraikan secara kronologis dengan dasar
urutan masuknya kepercayaan serta paham agama yang dianut masyarakat Pasundan,
dengan catatan bahwa batasan ruang Pasundan tempo dulu tidak seperti sekarang
ini
- Panday Sunda
Zaman Prasejarah
Menurut
Ratnaesih Maulana (2002) dalam makalah ilmiahnya, disebutkan bahwa kemampuan
mengolah logam mulai muncul pada jaman Prasejarah,khususnya pada Masa
Perundagian, dimana bahan logam yang dibuat pada masa ini umumnya terbuat dari
perunggu. Sedangkan benda yang dihasilkannya,
misalkan arca, memperlihatkan hiasan yang lebih dekoratif dan lebih dinamis
apabila dibandingkan dengan gaya
arca produk jaman Megalitikum. Kemampuan
mengolah logam ternyata memang sudah ada pada jaman prasejarah, orang yang
mampu mengolah bahan perunggu masa itu
entah disebut apa waktu itu , tetapi jelas sudah ada. Mungkin dengan
banyak spekulasi, istilah ‘Guru Teupa’ lebih tepat rasa-rasanya untuk waktu itu
di wilayah Pasundan, entah apa di daerah lain waktu itu.
Pernyataan diatas memperkuat tulisan J.L.A
Brandes (1887) yang menyebutkan bahwa penduduk asia tenggara termasuk yang
mendiami kepulauan nusantara telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya
pengaruh kebudayaan India, yaitu mengenal pengecoran logam , mampu membuat
figure-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa,
mengenal instrument musik, mengenal berbagai ragam hias, mengenal system
ekonomi barter, memahami astronomi, mahir dalam navigasi, mengenal tradisi
lisan, mengenal system irigasi untuk pertanian, dan adanya penataan masyarakat
yang teratur. Dalam kondisi peradaban
seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan
musafir dari India maupun China..
Kepercayaan prasejarah waktu itu, menurut
Jacob Sumardjo (2002) di dalam bukunya,
masyarakatnya masih menganut konsep dualisme keberadaan, yaitu langit sebagai
Dunia Atas yang bersifat absolut dan tidak dikenal , dan bumi sebagai Dunia
Bawah yang bersifat dibutuhkan dan dikenal manusia. Dunia manusia berasal dari
Dunia Atas, jadi ada kesatuan dualistik
antara manusia dengan Dunia Atas. Pola hubungan kesatuan tersebut antara lain
dengan perkawinan, perkawinan Dunia Atas dengan Dunia Bawah, akan melahirkan
berbagai ciptaan yang berguna bagi manusia. Pasangan ini bersifat kosmis, karena
pola hubungan ini berupa perkawinan, maka kesempurnaan hidup, keselamatan
hidup, kesejahteraan hidup hanya dapat terjadi apabila ada perkawinan ini. Untuk itu diperlukan Dunia Tengah, dunia
perantara untuk perkawinan dua pasangan kontras tadi, disebut Axis Mundi, berupa gunung, pohon,
bersifat transenden, semua upacara dan kegiatan harus secara Dunia Tengah ini,
penuh kegaiban penuh mantra. Kesatuan dunia dunia tersebut merupakan kesetuan
Ruang dan Waktu, semua hanya satu, hanya ada satu Ruang dan satu Waktu. Mungkin
lebih tepatnya semua adalah satu kesatuan tunggal yaitu Sang Tunggal. Sang Tunggal
merepresentasikan dirinya dalam ruang dan waktu.
Konsep perkawinan kosmis diatas,
bila dihubungkan dengan tulisan Basuki Teguh Yuwono (2008) tampaknya ada
korelasinya, yaitu proses pembuatan pusaka merupakan suatu ‘Tapa Laku’ suci
yang rumit, penuh kehatihatian, penuh doa mantra, oleh karena memadukan dua
keadaan yaitu Guru Dadi (sesuatu yang
berasal dari langit) dan Guru Bakal
(sesuatu bahan dari bumi), agar menghasilkan perpaduan yang baik dan sempurna.
Guru
Teupa merupakan tokoh kunci sekaligus spiritual-religius yang sangat
dihormati dan mulia di mata masyarakat ,untuk
ukuran masa itu menurut Mamat Sasmita (2009), dikatakan bahwa tidak ada hasil
kemahiran yang lebih baik dalam menggambarkan gaya hidup suatu bangsa selain
kemampuan mengolah logam menjadi peralatan yang berguna untuk kehidupan
sehari-hari. Guru Teupa dalam melakukan upacara ritualnya yang suci dan penuh
kegaiban, menyendiri di dalam Paneupaan
(dapur pengolah logam/tempat penempaan)
jauh dari hiruk pikuk masyarakat merupakan Dunia Tengah yang
mengkawinkan Guru Jadi (dalam bahasa
Sunda Kuno) dengan Guru Bakal. Guru Teupa mentransformasikan peralatan yang
sebelumnya terbuat dari batu maupun kayu menjadi berbahan logam, teknologi
tempa maupun peleburan serta pencetakannya masih sederhana. Untuk mewujudkan sebuah pusaka yang berbentuk
senjata, Guru Teupa mencampur bahan bahan yang berasal dari bumi (Guru Bakal)
yaitu besi atau timah hitam dipadukan dengan bahan bahan yang diyakini sebagai
dari langit, bahan tersebut harus berbeda dan terang, oleh karena sumber terang
berasal dari langit (Guru Jadi) yaitu antara lain timah putih, meteorit, kadang
kala untuk meningkatkan nilai sakralitasnya diimbuhi dengan sedikit emas (Dunia
Tengah), dalam beberapa artefak lebih kurang berkadar 0,0005% - 0,001%.
- Panday Sunda
Zaman Hindu-Budha
Sesuai makalah
Agus Aris Munandar (2005), setelah penduduk nusantara berinteraksi dengan para
pendatang dari India, maka
diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia
benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya yaitu huruf Pallava,
Agama Hindu-Budha, dan kalendar tahun Saka.
Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India
itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia
terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru
kebudayaan Indonesia
kuno yang pada akhirnya pencapaian tersebut diakui sebagai hasil kreativitas
penduduk kepulauan Indinesia sendiri. Dengan dikenalnya huruf Pallava, atau
sering disebut dengan huruf Pascapallava, nenek moyang bangsa Indonesia mampu mendokumentasikan
pengalaman dalam hidupnya. Terbitnya prasasti-prasasti dari kerajaan kuno,
penggubahan karya sastra dengan berbagai judul, serta dokumentasi tertulis
lainnya adalah berkat dikenalnya huruf Pallava ini. Bahkan di masa kemudian
huruf Pallava itu kemudian dinasionalisasikan oleh berbagai etnis di Indonesia,
maka munculah antara lain aksara-aksara: Sunda Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno,
Bugis Kuno, Batak Kuno dan Lampung Kuno.
Sebagaimana diketahui pengaruh agama
Hindu Budha masuk ke daerah Pasundan lebih kurang pada abad ke 4-5 Masehi, dengan
bukti bukti prasasti yang mengarah adanya kerajaan bercorak adanya pengaruh
kebudayaan India
yaitu Tarumanagara yang salah satu rajanya bernama Purnavarmman. Prasasti yang
berangka tahun pertama dijumpai di wilayah Jawa Tengah, yaitu prasasti Canggal
berhurf Pallava dan berbahasa Sanskerta yang berangka tahun 652 Saka atau 730
M. Untuk wilayah Pasundan, prasasti yang
berangka tahun yang diketemukan baru prasasti Batutulis-Bogor berangka tahun
1455 Saka atau 1543 M, itupun sudah memakai aksara dan bahasa Sunda Kuno. Akan
tetapi pada prasasti Tugu (berhuruf Pallava dan berbahasa Sanskerta) yang
diketemukan di kecamatan Cilincing wilayah Jakarta Utara sudah menyebutkan nama
bulan yaitu Phalguna dan Caitra, nama bulan pada bangsa India serta menyebutkan
nama sungai di India yaitu Candrabhaga dan Gomati.
Dengan masuknya paham agama, tentunya disertai
dengan ikut masuknya pula pengetahuan serta budaya bangsa yang membawa agama
tersebut masuk. Pengetahuan tersebut meliputi bahasa, sastra serta teknologi
dan lain lain. Hal yang pasti adalah
berkat adanya pengaruh agama Hindu-Budha tersebut penduduk Pasundan kemudian
memasuki periode sejarah. Guru Teupa mau
tidak mau beradaptasi dengan paham dan kekuatan yang baru apabila ingin tetap survive. Pada kenyataannya paham yang dianut Guru
Teupa mirip / bisa berpadu dengan salah satu sekta (dari sekian banyak sekta)
di agama Hindu. Hal ini sesuai yang tertulis dalam Kitab Suci Weda Aranyaka Upanisad, tentang perkembangan
Weda dimana melahirkan banyak tokoh Brahmana, dengan banyak sekta, sedangkan
penganut sekta tersebut disebut Wangsa.
Menurut Rsi Bintang Dhanu M (1998), disebutkan bahwa
sumber yang berkaitan dengan masalah ini adalah berasal dari sekta Brahma,
sekta ini merupakan salah satu sekta yang besar dan penting untuk waktu itu.
Pada waktu itu pengikutnya disebut Wangsa Brahmana Panday. Wangsa Brahmana
Panday ini dalam kedudukannya di Kerajaan menempati posisi yang penting,
jabatan yang diembannya diberi gelar Mpu. Jadi menurut kronologisnya, kata Mpu
pada awalnya menunjukkan pangkat / jabatan yang penting. Tidak semua Wangsa
Brahmana Panday mendapat gelar Mpu, karena gelar tersebut merupakan tanda
pangkat dari kerajaan, akan tetapi keluarga Mpu dan saudaranya seketurunan
tetap sebagai Wangsa Brahmana Panday, kecuali yang berkianat. Istilah Guru
Teupa kemungkinan besar pada masa Hindu ini mulai diganti dengan julukan
Panday, termasuk Paneupaan mulai diganti dengan istilah Gosali.
Menurut tulisan
RM.Sajid (1980), jabatan Mpu di kerajaan di bagi 3 kelompok, yaitu:
- Mpu Panday, bertanggungjawab dalam bidang
senjata,serta perhiasan dari logam
- Mpu Jangga, bertanggung jawab dalam bidang sastra
dan administrasi tulis menulis serta
pengarsipannya.
- Mpu Gangsa, bertanggung jawab dalam bidang kesenian
karawitan serta pembuatan peralatannya.
Selanjutnya, pada waktu itu, menurut
Basuki Teguh Yuwono (2008) seorang Panday selain bidangnya dalam pembuatan
senjata dan pusaka harus menguasai beberapa bidang yang berfungsi mendukung
keahliannya, yaitu
- Menguasai dalam bidang agama
- Menguasai dalam bidang olah senjata
- Menguasai dalam bidang psikologis
- Menguasai
dalam bidang anatomi tubuh
- Menguasai dalam bidang politik dan tata Negara
- Menguasai dalam bidang sastra
- Menguasai dalam bidang artistik dan seni
Dalam bukunya Rsi Bintang Dhanu M (1998) kata Panday ( Pande= Jawa dan Bali,
Pandeya=Jawa Kawi Kuno ) berasal dari akronim dalam bahasa Sanskerta, kata
tersebut berasal dari ‘Paandie’, kata ini tersusun atas :
PA………………….=
yang berarti paha atau pupu
AN…………………=
yang berarti tangan
DIE…………………=
yang berarti jeriji atau jari
Jadi kata
Panday mempunyai gambaran tahan panasnya api dimana bahwa pahanya sekeras Paron
/ landesan, tangannya berfungsi sebagai palu / martil sedangkan jarinya sebagai
penjepit bilahnya. Kata akronim tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari
ilmu dasar rahasianya tentang Cakra, rahasia karena hanya boleh diajarkan oleh
sesama penganut sekta Brahma saja. Ajaran tersebut adalah ilmu andalan wangsa
ini yang tidak dimiliki oleh sekta yang lain, mereka menyebutnya ‘Aji Panday
Wesi’ atau ‘Aji Wesi’, dari sekian banyak bab ‘Aji Wesi’ yang paling pokok
adalah bab ‘Aji Panca Bayu’ atau ‘Tatwa Aji Wesi’. Tatwa ini di Pulau Bali masih ada dan lestari sampai kini, Tatwa Weda Urip
Wesi ini terdapat dalam Prasasti Dharma Kapandayan (naskah lontar 15.11/prp
pada kropak no.5138), yang bunyinya (bahasa kawi) antara lain:
“……………………IKI
AKSARA KASADUR SIRA PANDE TATAS RING TUTUR LAWAN WARIGA MANGKANA KADI LING
SASTRA IKU DHARMA WISESAN NGARAN…………………………”(yang artinya= ini sastra wangsa
panday ringkasnya harus tahu tentang filsafat hidup, dan wariga perhitungan
hari, wuku, bulan, dan tahun bumi, seperti yang tertulis di dalam ajaran Dharma
Wisesa).
Demikianlah pada jaman Hindu Budha, seorang Panday sangat diikat oleh
Prasasti maupun Pustaka lontar pegangannya, sumpah jabatan pada leluhur maupun
rajanya, dan kewajiban moril wangsanya.
Oleh karena Panday jaman Hindu-Budha ini merupakan suatu bagian wangsa
dari sekta Brahma, tentunya sesuai paham / aliran-aliran sekta waktu itu, tentunya
memiliki hal-hal yang dirahasiakan maupun yang tidak dirahasiakan. Kenapa bisa terjadi seperti ini? Jawabnya
sangat manusiawi, antar sekta ada semacam adu valid. Hal yang dirahasiakan, hanya
boleh diketahui oleh sesama wangsanya, itupun bertingkat-tingkat sesuai
kualitasnya. Sebagai contoh, doa-doa
Panday dalam acara selamatan sebelum berkarya maupun memulai karya, doa ini
masuk kategori ‘rahasianya rahasia’, dan ada lagi masuk kategori ‘puncaknya
rahasia’, sebagai misal, yaitu pada bagian ‘mengisi’ karyanya dengan suatu
keinginan, contoh ini tidak semua wangsa Panday bisa / boleh tahu, mengapa?
Karena pada sisi ini tergantung penguasaan ilmu maupun tingkat kesempurnaan /
kesucian wangsa Panday.
Bagian yang rahasia tersebut adalah bagian yang tidak tercatat dalam
sejarah, ini realita, bahkan sampai pada detik inipun masih ada beberapa Panday
yang mengatakan bahwa ada bagian yang dirahasiakan dan apabila dikejar dengan
pertanyaan mengapa, jawabnya selalu karena perintah leluhur, pastinya adalah
tidak tahu. Pada kenyataannya, hal yang
dirahasiakan tersebut seringkali disampaikan secara ‘face to face’ , bahkan ada yang harus dihafal dan tidak boleh
diwujudkan dalam bentuk tulisan apapun juga.
Pengaruh filosofi Lingga-Yoni
dalam agama Hindu sangat besar pengaruhnya dalam konsep pembuatan pusaka pada
masa ini. Konsep Lingga-Yoni merupakan
suatu konsep yang mirip dengan konsep keseimbangan kosmis jaman Prasejarah,
menurut GM.Nurjana (2009) konsep tersebut berarti menjaga keseimbangan
ciptaan-Nya, dimana Lingga berarti simbol Brahman, Tuhan Yang Maha Esa
digambarkan dengan aksara ‘AUM’ yang senantiasa bergema menciptakan Pertiwi
atau Yoni, alam semesta maupun langit dengan segala isinya. Oleh P.J.Zoetmulder
dalam kamus Jawa Kuno, Lingga dapat berarti phallus, arca dewa, titik poros
atau sumbu, sedangkan Yoni dapat berarti garbha, rahim, tempat lahir .
Dengan demikian, dapat diduga pada masa ini Panday berada dalam masa
keemasannya, semua keadaan mendukung pemahaman sebelumnya, kerajaan dan
masyarakat menempatkan Panday pada posisi luhur dan terhormat. Wangsa Panday
secara politis benar-benar menduduki posisi yang sangat strategis, ini
merupakan waktu yang paling tepat untuk berkembang, terbukti bahwa artefak
artefak peninggalannya pada masa ini amat beragam dan banyak.
Sebagai contoh dalam kaitannya
Panday dengan paham Lingga Yoni di agama Hindu adalah adanya relief yang secara
jelas tervisualisasi pada Candi Sukuh di Karanganyar Solo-Jawa Tengah, candi
ini didirikan antara tahun 1437-1496 M. Pada relief tersebut amat jelas merupakan
gambaran sebuah Gosali, dimana di dalamnya memperlihatkan Wangsa Panday sedang
bekerja mengerjakan sebuah bilah senjata.
Tampak seorang laki-laki sedang menempa senjata disamping Paronnya
dengan tangan kanan memegang martil sedangkan tangan kirinya memegang bilah
senjata. Pada sudut lain, seberang tidak
jauh, tampak seorang wanita membantu sang Panday dengan memegang alat yang
disebut Ububan / Puputan. Dalam kaitannya konsep Lingga-Yoni, sang Panday
menempa dan sang wanita memberi hawa, dari pekerjaan ini lahirlah sesuatu yang
mereka inginkan yaitu senjata. Keadaan ini mirip dengan sepasang insan yang
menginginkan anak, bukan aktivitasnya tapi maknanya.
- Panday Sunda
Jaman Agama Islam
Paham agama Islam sangat lain dengan agama Hindu, di dalam agama Islam
pada prakteknya harus selalu ditujukan pada keTauhidan, lagipula didalam agama
Islam dilarang menggambar mahluk hidup yang mirip dengan realita sesungguhnya,
sehingga dalam mewujudkannya terjadi transfigurasi bentuk / struktur. Paham Panday masa Hindu amat berlainan dengan
masa ini, sehingga banyak kaum Panday melakukan migrasi apabila tidak mau
berpindah agama. Sebagai catatan, wangsa Panday merupakan termasuk kelompok
solid yang amat sangat berpegang teguh pada ajarannya, dengan adanya perubahan
kekuatan politis yang disertai perubahan ideology, maka mau tidak mau mereka
melawan, pergi atau pindah agama. Pilihan kebanyakan melakukan migrasi, sangat
mungkin Panday Domas (jikalau memang ada) migrasi pada era perubahan ini, secara
logis, keadaan yang mampu memaksa migrasi besar-besaran adalah perubahan
pemerintahan yang disertai perubahan ideology yang amat berbeda jauh.
Singkat sih , tapi semoga bermanfaat ;)